Indonesia Jadi Percontohan Penanganan Multi-Bencana Dunia

THE ASIAN POST, JENEWA ― Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengajak pemerintah di seluruh dunia untuk memperkuat sistem peringatan dini multi-bencana yang dimiliki di setiap masing-masing negara.

Hal ini dikatakan  Dwikorita saat mendapatkan kehormatan menjadi pembicara utama dalam forum internasional PBB, Second Multi-Hazard Early Warning Conference (MHEWC-II),di Jenewa Swiss, baru-batu ini.

Dwikorita mengatakan negara-negara di dunia perlu menerapkan sistem yang terintegrasi antarlembaga ataupun antara pihak-pihak terkait, dengan dukungan inovasi teknologi yang tanpa mengabaikan kekuatan dan kearifan lokal

Untuk menguatkan dan menjaga efektivitas peringatan dini multi-bencana ini, katanya diperlukan peraturan/regulasi yang mengatur koordinasi, harmonisasi dan sinergi peran

“Selain itu perlu pula data integrasi antarlembaga ataupun antarpara pihak terkait dalam  sistem integrasi peringatan dini tersebut,” katanya.

Ia memberikan contoh kasus di Indonesia saat  dari kejadian gempa bumi dan tsunami di Palu dan Selat Sunda.

Pada dua kejadian itu, menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki karakteristik kegempaan baru yang jarang terjadi

“Indonesia memiliki karakteristik cuaca dan iklim yang unik,” tandasnyam

Kondisi ini, menurut Dwikorita, menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia, mengingat Indonesia  berada di dalam lingkaran Cincin Api Pasifik yang terbentuk oleh gerak lempeng tektonik aktif.

Cincin Api Pasifik adalah zona berbentuk tapal kuda dan menjadi sabuk gempa paling aktif di Dunia.

Baca Juga...

“Bukan hanya Indonesia, negara lain, seperti Jepang, Taiwan, dan Selandia Baru pun masuk dalam cincin api pasfik tersebut,” terangnya.

Ledakan populasi yang semakin meningkat lanjutnya, mengakibatkan tingginya kerentanan terhadap bencana hidrometeorologi, iklim ekstrim, bahkan gempa bumi dan tsunami.

“Untuk pengurangan dampak risiko bencana, kearifan lokal dan aspek sosial sangat dibutuhkan dalam menjaga efektivitas  dan keberhasilan sistem peringatan multi-bencana, tersebut,” sambung Dwikorita.

Menurutnya, pada saat ini belum terbukti adanya teknologi yang mampu memberikan peringatan dini dalam waktu kurang dari 3 menit setelah gempa terjadi, seperti yang dibutuhkan untuk kejadian tsunami di Palu.

Waktu datangnya tsunami Palu, imbuh dia, kurang lebih 2 menit setelah terjadi gempa, sebelum peringatan dini diberikan pada menit ke 5.

Dan, berdasarkan evaluasi dari berbagai kejadian tsunami, terbukti belum ada sistem atau teknologi yang sempurna dalam memberikan peringatan dini, karena hampir selalu ada hal-hal yg terjadi di luar perkiraan, pada saat  kejadian bencana di berbagai negara.

Dengan berbagai keterbatasan yang masih ada, menurut dia, kearifan lokal dan teknologi sederhana yang lebih mudah dipahami dan dioperasikan oleh masyarakat lokal, tetap harus diterapkan/diintegrasikan dalam sistem peringatan dini berbasis teknologi maju.

Melalui pertemuan ini  sebagai tindak lanjut Sendai Framework, katanya, dapat dijadikan langkah bagi negara-negara internasional  untuk melakukan pengurangan dampak resiko bencana alam melalui pengembangan sistem peringatan Dini Multi-Bencana.

Sebagai informasi, konferensi yang berlangsung selama dua hari dari 13-14 Mei 2019 di Jenewa, Swiss yang  diselenggarakan secara berurutan dengan Global Platform for Disaster Risk Reduction 2019 ini bertujuan untuk mengkoordinasikan dan mendorong peningkatan kapasitas negara-negara di seluruh dunia dalam mengimplementasikan dan mengembangkan Sistem Peringatan Dini Multi-Bencana dalam pengurangan risiko becana yang lebih baik dan lebih terkoordinasi di negara masing-masing. []

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.