Ketika Efisiensi Anggaran Menjadi Ilusi Kemajuan

Dalam kebijakan efisiensi anggaran yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah termasuk di sektor pariwisata, ternyata ada ‘oknum’ yang sedang mencoba membungkusnya dalam narasi heroik tentang “inovasi dalam keterbatasan”.

Saya ingin menyampaikan pandangan alternatif terhadap narasi tersebut, bahwa romantisasi pemangkasan anggaran hingga hampir ke titik nadir ini justru mengabaikan realitas struktural yang membuat pariwisata Indonesia rentan kolaps tanpa dukungan negara.

Alih-alih menjadi momentum kebangkitan, kebijakan ini berpotensi mengubur daya saing sektor pariwisata dalam jangka panjang.

Pertama, narasi bahwa “kreativitas dan kolaborasi” bisa menggantikan peran anggaran negara adalah simplifikasi berbahaya. Pariwisata bukan hanya tentang ide-ide brilian komunitas lokal atau kemitraan swasta; ia membutuhkan infrastruktur dasar, pemasaran global, dan sistem manajemen krisis yang hanya bisa dibiayai secara memadai oleh negara.

Contoh konkret, Bali, destinasi unggulan Indonesia, masih bergantung pada anggaran pemerintah untuk pemeliharaan jalan, sanitasi, dan penanganan sampah. Tanpa investasi negara, bagaimana mungkin destinasi seperti Labuan Bajo atau Borobudur bisa bersaing dengan Phuket atau Angkor Wat yang didanai secara masif oleh pemerintahnya?

Kedua, klaim bahwa “sinergi multistakeholder” akan secara ajaib mengisi kekosongan anggaran mengabaikan asimetri kekuatan dalam ekosistem pariwisata.

Industri besar seperti jaringan hotel internasional atau platform wisata digital mungkin mampu beradaptasi, tetapi pelaku usaha kecil—homestay lokal, pemandu wisata mandiri, atau pengrajin—tidak memiliki sumber daya untuk bertahan.

Kolaborasi tanpa pendanaan cenderung menjadi eksploitasi terselubung, di mana korporasi menguasai pasar dengan dalih “kemitraan”, sementara UMKM tersingkir. Jika Kementerian Pariwisata hanya menjadi “orkestrator” tanpa anggaran, peran mereka akan direduksi menjadi mediator kepentingan kapital, bukan pelindung kepentingan publik.

Ketiga, narasi ini mengabaikan pelajaran dari sejarah. Krisis pandemi COVID-19 membuktikan bahwa sektor pariwisata sangat bergantung pada intervensi negara untuk bertahan.

Ketika usaha pariwisata kolaps, hanya stimulus fiskal – seperti insentif pajak atau bantuan langsung – yang mampu mencegah kebangkrutan massal. Di era sebelumnya, program seperti CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environmental Sustainability) dan Hibah Pariwisata sebagai salah satu bentuk business continuity plan menghadapi resiko krisis, bisa berjalan karena ada anggaran khusus. Tanpa itu, mustahil membangun kembali standar layanan yang kompetitif.

Keempat, optimisme berlebihan terhadap “daya ungkit swasta” berisiko memprivatisasi pariwisata.

Destinasi alam dan budaya, yang seharusnya menjadi milik publik, bisa beralih ke kendali korporasi jika negara absen membiayai pengelolaannya. Apa jadinya jika Raja Ampat hanya bisa diakses melalui resort mewah berbayar tinggi karena tidak ada dana negara untuk mengembangkan fasilitas umum?

Efisiensi anggaran dalam konteks ini bukanlah inovasi, melainkan pengabaian tanggung jawab negara terhadap aksesibilitas dan keberlanjutan.

Terakhir, memuji “keterbatasan sebagai peluang” adalah bentuk gaslighting kebijakan.

Di tengah ancaman krisis iklim dan persaingan global, pariwisata Indonesia membutuhkan investasi, bukan hanya ide untuk bertransformasi. Bagaimana mungkin destinasi wisata bisa mengurangi emisi karbon tanpa dana untuk transportasi ramah lingkungan?

Bagaimana mungkin digitalisasi bisa merata tanpa infrastruktur internet di daerah terpencil? Kreativitas tanpa sumber daya hanyalah ilusi.

Kreativitas, inovasi dan efisiensi sangat penting, namun juga harus diingat bahwa dalam implementasinya kebijakan ini juga memiliki potensi resiko melemahkan fondasi pariwisata Indonesia.

Alih-alih memotivasi, narasi yang keliru itu justru mengirim pesan bahwa sektor strategis ini tidak diprioritaskan. Jika “kolaborasi” adalah jawaban ajaib, mengapa negara-negara seperti Prancis atau Jepang tetap mengalokasikan miliaran dolar untuk promosi dan infrastruktur pariwisata?

Kita tidak perlu menjadikan keterbatasan sebagai musuh, tetapi menjadikannya sebagai tameng untuk membenarkan penghematan juga bisa menjadi sebuah kekeliruan.

Saya sepakat inovasi, kreativitas, serta efisiensi tetap diperlukan, baik dalam kondisi sedang berketerbatasan maupun berkelimpahan, dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing pariwisata kita dalam persaingan global.

Inovasi sejati dalam pariwisata lahir ketika ada kombinasi antara anggaran yang memadai, regulasi yang jelas, dan partisipasi inklusif. Tanpa itu, kita hanya sedang menulis narasi kegagalan dengan tinta romantisme.

Fadjar ‘Cak Tom’ Hutomo
Ketua Bidang Pariwisata
DKU Rekayasa Sipil dan Lingkungan Terbangun
Persatuan Insinyur Indonesia
Periode 2025-2027

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.