Jakarta — Era mengagung-agungkan valuasi yang selama ini jadi “agama” dalam menilai perusahaan rintisan (start-up) sudah berakhir. Pasar telah kembali ke jalan yang lurus: menjadikan laba (profit) perusahaan sebagai “dewa”.
“Tidak ada yang tahan membakar uang tanpa bottom line. Sekarang di seluruh dunia termasuk Indonesia, “dewanya” adalah bottom-up atau keuntungan,” ujar Eko B. Supriyanto saat diskusi bertema “SVB Bangkrut, Akankah Berimbas Ke Indonesia?” di Jakarta, Jumat (17/3).
Dulu, valuasi dijadikan pegangan dalam menilai start-up. Untung atau tidak untung, tidak jadi masalah, yang penting valuasinya tinggi. Kini, “agama valuasi” tak bisa lagi jadi pegangan. Sudah berakhir era “pesugihan digital”
“GoTo mem-PHK pegawainya sampai 1.300 orang agar memperoleh laba. Inilah yang terjadi, bisnis pada akhirnya harus cuan, bukan mendewakan valuasi bak pesugihan digital.”ungkap Eko.
Hampir seluruh perusahaan start-up di Indonesia, lanjut Eko, telah mem-PHK karyawan. Di dunia pun terjadi hal yang sama. Google, Silicon valley, dan lain-lainn semua mem-PHK karyawan.
“Jadi, semua kembali ke tujuan inti, yaitu mencari keuntungan. Tidak ada lagi menjual valuasi dan sebagainya. Istilah ‘membakar uang’ telah selesai pada 2021-2022. Saham start-up pun tidak lagi laku. Lebih ngeri lagi taktik pemegang saham untuk keluar lewat go publik sepertinya dihukum pasar,” paparnya. DW