Jakarta – Sejak tahun 2021-2023 jumlah pengaduan anak korban pornografi dan cyber crime ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencapai 481 kasus, sedangkan anak korban eksploitasi serta perdagangan anak berjumlah 431 kasus. Dari seluruh kasus tersebut mayoritas terjadi karena menyalahgunakan media teknologi dan informasi, serta akibat dari dampak buruk internet dan penggunaan gadget yang tidak sesuai dengan fase tumbuh kembang anak.
Catatan KPAI data yang paling tinggi dari dua situasi anak tersebut adalah mereka yang menjadi korban eksploitasi ekonomi dan/seksual serta Anak Sebagai Korban Kejahatan Pornografi Dari Dunia Maya. Mereka banyak teradukan menjadi korban prostitusi online, eksploitasi ekonomi, serta anak korban pornografi atau CSAM(Children Seksual Abuse Material).
Beberapa permasalahan yang menimpa anak-anak Indonesia dalam pengaduan ke KPAI diantaranya terjadi dikarenakan (1) adanya sejumlah fenomena tindak pidana TPPO yang menyasar anak melalui online dengan bentuk eksploitasi seksual dan ekonomi serta pornografi dan cyber crime lainnya (2) Adanya jual beli konten pornografi anak/CSAM yang dikendalikan orang dewasa serta melibatkan anak melalui pembayaran uang digital dan perbankan.
Kemudian (3) Adanya sejumlah kasus yang sulit diselesaikan akibat rumitnya dugaan eksploitasi anak menggunakan tindak pencucian uang dan masih minimnya perspektif follow the money dalam tindak kejahatan. (4) adanya kecenderungan penggunaan transaksi hasil jual beli eksploitasi dan pornografi anak/CSAM menggunakan penyedia jasa keuangan menggunakan uang digital yang memudahkan tipu daya menggunakan anak seperti melalui e-wallet, e-money, uang digital, cripto,. (5) adanya kecenderungan tindakan jual beli konten pornografi/CSAM dan eksploitasi online menggunakan jasa perbankan dengan mata uang Rupiah, USD dan Uero, dan lain-lain.
Dalam laporannya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan perputaran uang mecapai 114 Milyar yang dihasilkan dari TPPO dan pornografi anak.
Di sisi lain, PPATK mencatat ada 168 juta transaksi judi online dengan total akumulasi perputaran dana mencapai Rp 327 triliun sepanjang tahun 2023. Secara total, akumulasi perputaran dana transaksi judi online mencapai Rp 517 triliun sejak tahun 2017.
Korban di masyarakat tidak hanya orang tua tetapi juga anak-anak. Berdasarkan data demografi, pemain judi online merupakan Usia di bawah 10 tahun mencapai 2% dari pemain, dengan total 80.000.Sebaran pemain antara usia antara 10 tahun s.d. 20 tahun sebanyak 11% atau kurang lebih 440.000 orang, kemudian usia 21 sampai dengan 30 tahun 13% atau 520.000 orang. Usia 30 sampai dengan 50 tahun sebesar 40% atau 1.640.000 orang dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34% dengan jumlah 1.350.000 orang.
Secara umum UU TPPU Data tentang tindak pidana pencucian uang yang melibatkan anak sulit untuk diperoleh secara spesifik karena kejahatan semacam ini seringkali tersembunyi dan sulit dideteksi.
Namun, beberapa contoh dapat ditemukenali melalui (1)Kasus-kasus yang Terdokumentasi: Misalnya, anak-anak yang dimanfaatkan untuk membuka rekening bank palsu atau untuk melakukan transfer uang dalam skala besar yang mencurigakan, (2) Pemanfaatan Anak dalam Perdagangan Manusia, misalnya anak-anak sering dimanfaatkan untuk tujuan komersial seperti prostitusi atau kerja paksa. Uang yang dihasilkan dari aktivitas ini sering kali dicuci melalui transaksi finansial yang rumit, (3) Keterlibatan Anak dalam Kejahatan Organisasi: Anak-anak dapat direkrut oleh organisasi kriminal untuk melakukan kegiatan seperti pembelian properti atau barang mewah dengan uang hasil kejahatan.
Hal ini sering dilakukan untuk menyamarkan asal-usul uang tersebut.
Sementara, penggunaan internet dikalangan anak sangat tinggi. Dalam data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) jumlah pengguna internet Indonesia mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia pada tahun 2023.
Sedangkan berdasarkan gender, kontribusi penggunaan internet Indonesia banyak bersumber dari laki-laki 50,7% dan perempuan 49,1%. Gen Z (kelahiran 1997-2012) sebanyak 34,40%. Kemudian, generasi milenial (kelahiran 1981- 1996) sebanyak 30,62%. Gen X (kelahiran 1965-1980) sebanyak 18,98%. Post Gen Z (kelahiran kurang dari 2023). Sebanyak 9,17%, Baby boomers (kelahiran 1946-1964) sebanyak 6,58% dan Pre Boomer (kelahiran 1945 sebanyak 0,24%).
Untuk itu, KPAI memiliki focus utama untuk memastikan terselenggaranya perlindungan anak di ranah daring dengan menggandeng berbagai Lembaga strategis seperti PPATK dalam mendorong percepatan dan efektivitas perlindungan anak di ranah daring dengan memastikan tidak adanya tindak kejahatan TPPU melibatkan anak.
Sejalan dengan itu, KPAI melihat upaya advokasi yang perlu dilakukan diantaranya mekanisme sistem pelaporan dari lembaga pengaduan perlindungan anak kepada PPATK dan kepada Aparat Penegak Hukum/APH, kemudian membangun akselerasi koordinasi, sinergi dan implementasi dugaan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dengan Aparat Penegak Hukum.
Selain itu, meningkatkan pemahaman dan edukasi publik pada penyedia jasa keuangan maupun masyarakat untuk memiliki SDM yang berperspektif perlindungan anak dan mendorong penyediaan sistem monitoring dan pengaduan pada penyedia dan penyelenggara jasa keuangan dalam mekanisme perlindungan anak; terutama pada platform uang digital.
Dalam konteks tersebut KPAI sebagai Lembaga pengawas perlindungan anak yang diamanahkan UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak bersama PPATK menginisiasi Nota Kesepahaman sebagai wujud komitmen dan kolaborasi terhadap perlindungan anak dalam konteks kejahatan pencucian uang yang melibatkan anak. PPATK merupakan lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Nota Kesepahaman ini dimaksudkan sebagai landasan dan pedoman dalam pelaksanaan kerja sama sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang KPAI dan PPATK dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan anak.
Di samping itu, Nota Kesepahaman ini bertujuan untuk menetapkan upaya atau langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan anak yang akan dilakukan oleh KPAI dan PPATK. Ruang lingkup Nota Kesepahaman ini meliputi, pertukaran data dan/atau informasi, sosialisasi dan edukasi publik, peningkatan kapasitas SDM, dan analisis strategis.
Dalam momentum Hari Anak Nasional 2024, KPAI dan PPATK juga mengajak Pemerintah pusat dan daerah, penting sekali menjadikan perlindungan anak di ranah daring menjadi program prioritas dalam rangka menguatkan regulasi dan program literasi digital yang menyasar pada seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu upaya nyata KPAI memberikan masukan dan usulan kebijakan dalam RPP Tata Kelola perlindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik (PAPSE) sebagai bentuk tanggungjawab negara hadir memberi jaminan kebijakan perlindungan anak-anak dalam sistem elektronik kita. (*)