THE ASIAN POST, JAKARTA – Ekonom PT Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro mengatakan bahwa pemerintahan pada periode pertama telah fokus berinvestasi pada hard infrastructure atau infrastruktur fisik. Menurutnya, periode kedua adalah saat yang tepat untuk mulai berfokus ‘soft infrastructure’ pada penyederhanaan regulasi dan peningkatan mutu SDM.
“Ketika investor mau masuk, mereka ingin tahu akan beberapa hal. Pertama, apakah legal atau rulenya konsisten atau tidak? Kedua, semisal mau buka pabrik di Indonesia, ada gak pekerjanya? Semisal mau invest di startup, ada gak engineernya? Jadi saya rasa dari sisi soft structurenya masih harus ditingkatkan lagi,” ujar Satria saat acara perilisan Indeks Global Keterbukaan Ekonomi 2019 yang diadakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Legatum Institute di Jakarta, Selasa (15/10).
Sementara itu, Director of Policy Legatum Institute, Stephen Brien juga memaparkan, perlunya reformasi kebijakan ekonomi di Tanah Air, seperti inovasi ide dan bisnis, revisi kebijakan Daftar Investasi Negatif (DNI), tarif, kuota, dan subsidi.
Ia menjelaskan reformasi kebijakan ini berpotensi membuka pasar baru dan meningkatkan kesejahteraan bagi Indonesia. Selain itu, untuk mencapai peningkatan kesejahteraan, ekonomi terbuka juga membutuhkan akses pasar dan infrastruktur yang efektif, kondisi perusahaan yang sehat, dan tata kelola yang kuat.
Di lain waktu, Executive Director Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Rainer Heufers berpendapat, bahwa reformasi regulasi akan menarik para investor asing baru ke Indonesia.
“Reformasi regulasi ini penting untuk menarik fresh foreign direct investment. Untuk itu, Indonesia perlu membuat pasarnya lebih mudah diakses dan membangun mitra dagang internasional yang kuat. Sehingga pada akhirnya, Indonesia yang akan mendapat manfaat dari perdagangan dan investasi asing,” pungkas Reiner. (Evan Yulian Philaret)