Istri Dirut Garuda, Prof. Luthfiralda Dikukuhkan Jadi Guru Besar FMIPA UI di Bidang Biologi

Depok— Universitas Indonesia (UI) mengukuhkan Prof. Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed, sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dalam Bidang Biologi pada Ranting Ilmu/Kepakaran Konservasi Hewan.

Pengukuhan tersebut dilaksanakan di Balai Sidang, Kampus UI Depok. Prof. Luthfiralda merupakan istri Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra. Pada pengukuhan tersebut, Prof. Dr. Luthfiralda Sjahfirdi menyampaikan orasi ilmiah berjudul ‘Upaya Konservasi Dalam Menjaga Keberlanjutan Biodiversitas Pada Tingkat Spesies. Terutama Spesies Terancam Punah dan Spesies Endemik: Studi Kasus Pada Lembaga Konservasi ex situ’.

Orasi ilmiah ini dilatarbelakangi oleh makin memprihatinkannya ancaman keberlanjutan biodiversitas yang kini telah menjadi isu global dan mengancam punahnya ragam spesies yang dilindungi, utamanya spesies endemik.

Prof. Luthfiralda memaparkan, penurunan biodiversitas memiliki multiplier effect terhadap ekosistem dan manusia tergambarkan dalam kondisi-kondisi beragam.

Seperti berkurang atau hilangnya habitat bagi banyak spesies akibat berbagai macam fenomena alam yang terjadi secara alami maupun yang disebabkan aktivitas pengalihfungsian habitat spesies, perburuan liar, hingga perdagangan satwa dilindungi.

“Tantangan keberlanjutan biodiversitas menjadi sebuah keniscayaan untuk ditangani secara komprehensif,” ujar Prof. Luthfiralda, Rabu (13/11/2024).

Prof. Luthfiralda menjelaskan, berbagai upaya dan langkah konservasi dilakukan untuk mencegah penurunan tingkat biodiversitas. Termasuk upaya konservasi di tingkat spesies, baik secara in situ maupun ex situ yang merupakan metode konservasi flora dan fauna, melalui habitat asli maupun di luar habitat aslinya.

Pihaknya menekankan pentingnya melakukan pendekatan aspek perilaku reproduksi yang dilakukan secara ex situ dalam menjaga keberlanjutan biodiversitas pada tingkat spesies yang menjadi salah satu alternatif paling ideal yang dapat dilakukan dan merupakan salah satu strategi penting dalam upaya pelestarian biodiversitas.

“Terdapat tiga aspek penting yang perlu ditatalaksanakan dalam melakukan pendekatan perilaku reproduksi melalui metode konservasi ex situ,” terang Prof. Luthfiralda.

Adapun tiga aspek tersebut, yakni lembaga konservasi ex situ sendiri yang memiliki peranan fundamental dalam memulihkan populasi spesies yang hampir punah.

Meski demikian, bukan berarti lembaga ex situ ini tidak memiliki tantangan tersendiri. Salah satu faktor yang paling disorot adalah kecenderungan lembaga ex situ pada studi kasus tertentu yang dapat mereduksi kemampuan adaptasi alami spesies yang terancam punah.

“Terlepas dari tantangan itu, lembaga ex situ merupakan alternatif yang memliki probabilitas tingkat kesuksesan cukup tinggi dalam menunjang upaya konservasi populasi spesies yang ditunjang kemampuan expertise dari sisi pendekatan manusia, sehingga proses konservasi menjadi lebih terukur kesuksesannya,” ucap Prof. Luthfiralda.

Adapun aspek kedua, yakni turut memiliki peranan krusial adalah langkah pelepasliaran spesies hewan ke habitat alami. Terdapat standar kualitas individu yang perlu dipenuhi spesies hewan yang layak dilepasliarkan, sehingga penting untuk melakukan persiapan secara komprehensif guna memastikan pelepasliaran hewan dilakukan pada waktunya.

Pelepasan Orangutan

Salah satu case study yang paling menarik dari perspektif akademis adalah cerita pelepasliaran orangutan di Sintang Orangutan Center (SOC).

“Dari hasil riset yang kami lakukan, tidak semua spesies orangutan memiliki kemampuan yang sama dalam beradaptasi di alam liar. Fenomena ini terlihat bahkan ketika prosedur konservasi dilakukan pada sekolah hutan. Di mana beberapa orangutan cenderung enggan membuat sarangnya sendiri dan memilih menggunakan sarang yang telah ada dan masih layak untuk tidur,” katanya.

Melihat fenomena itu, Prof. Luthfiralda pada penelitiannya mengungkapkan metode pelepasliaran ‘Halfway House’ menjadi salah satu opsi persiapan pelepasliaran hewan yang dilindungi.

Metode Halfway House bertujuan meningkatkan kemungkinan keberhasilan pelepasliaran, serta mempersiapkan hewan untuk mampu memenuhi kebutuhan dasar alaminya.

“Aspek ketiga adalah langkah konservasi sepanjang hayat di kebun binatang dengan mempertimbangkan masa estrus (periode subur) pada hewan,” ucap Prof. Luthfiralda.

Prof. Luthfiralda mengungkapkan, opsi yang paling terukur bilamana spesies tertentu tidak memiliki kualifikasi yang ideal untuk dilepasliarkan dan justru akan menimbulkan risiko bagi eksistensi spesies tersebut.

“Tantangan pengelolaan keberlanjutan biodiversitas, khususnya pada spesies yang terancam punah, menjadi sebuah pekerjaan rumah yang harus disikapi secara serius oleh seluruh pihak. Oleh karenanya, pengayaan pemahaman metodologi konservasi serta perluasan portofolio studi kasus pada ragam spesies menjadi sebuah keniscayaan yang perlu disikapi dengan dinamika fenomena alam yang saat ini terus terjadi secara progresif,” ungkap Prof. Luthfiralda. (*) RAL

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.