Ekonomi Sulit, Porter di Pasar Mayestik Terpaksa Makan Dua Kali Sehari
Jakarta – Pasar Mayestik yang terletak di Jalan Tebah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, adalah pasar legendaris yang terkenal sebagai salah satu pusat tekstil di Indonesia. Banyak jejeran toko bahan tekstil yang sebagian dimiliki warga keturunan India di Pasar Mayestik.
Di dekat pasar yang sudah berdiri sejak era 1950-an ini juga terdapat Rumah Sakit Pusat Pertamina dan Taman Puring yang terkenal akan pusat barang bekas. Bahkan, menurut penulis buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe terbitan tahun 2012, Zaenuddin HM, kawula muda kala itu sering menjadikan tempat seperti Pasaraya, kawasan Melawai, Blok M Mal, hingga kawasan Pasar Mayestik sebagai tempat berkumpul.
Saat ini, di Pasar Mayestik sendiri sudah banyak dijual kebutuhan pangan rumahan, seperti sayuran, buah-buahan, daging sapi, ayam, ikan, bahan-bahan kue, sampai obat dan komestik, pakaian, serta toko penjahit. Selain itu, Pasar Mayestik turut menjadi surga wisata kuliner, mengingat banyaknya jajanan tradisional, salah satunya cendol Elizabeth.
Dengan panjangnya kisah sejarah Pasar Mayestik, Pasar Mayestik menyimpan segudang cerita yang menarik untuk diulik. Pasar Mayestik bisa dikatakan menjadi saksi bisu perjuangan para pekerja yang membanting tulang dari pagi hingga sore, untuk mencari nafkah demi keluarga.
Tim Asianpost belum lama ini, bertemu dengan para porter atau mereka yang menyediakan jasa pembawa barang di Pasar Mayestik. Salah satu dari mereka, yakni Udin. Dalam pengakuannya kepada Tim Asianpost, porter asal Cipete ini mengatakan, pendapatannya sebagai porter hanya berkisar Rp30.000 sampai Rp40.000 sehari. Pendapatan yang segitu, membuatnya harus mengorbankan makan siang.
“Siang tak makan karena kurang (pendapatan). Tadi pagi ngopi dan sarapan saja sudah Rp15.000,” ucapnya.
Serupa dengan Udin, porter lainnya yakni Banul juga mengatakan hanya mendapatkan pendapatan Rp40.000 dalam sehari. Pria asal Parung Panjang, Bogor yang sudah 15 tahun bekerja sebagai porter di pasar mayestik itu juga mengatakan harus berhemat agar bisa membawakan uang kepada istri dan anaknya.
“Sehari Rp40.000 dapat. Itu buat ongkos makan setiap hari, ditambah saya juga setiap hari naik kereta dari stasiun Bogor ke stasiun Kebayoran Lama untuk transportasi,” sebut Banul.
Para porter di Pasar Mayestik mengungkapkan keluh kesahnya soal sulitnya mencari kerja. Oleh karenanya, sekalipun pendapatan dari profesi porter terbatas, mereka terpaksa harus menjalaninya.
Bergabung menjadi porter di Pasar Mayestik pun tidak lah mudah. Porter lainnya membeberkan, pada 15 tahun lalu saat dirinya pertama kali mendaftarkan diri sebagai porter, ia perlu meronggoh kocek hingga Rp200.000.
“Masuknya bayar Rp200.000 kepada kepala yang ada di sini. Tidak tahu sekarang, mungkin sudah jutaan,” ucapnya.
Total ada 50 orang yang bekerja menjadi porter di Pasar Mayestik yang legendaris ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata berada di kisaran 5 persen, seolah masih hanya dinikmati oleh mereka kelompok masyarakat atas, dan belum sampai menyentuh masyarakat bawah.
Semoga ke depannya, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, tumbuhnya perekonomian Indonesia benar-benar bisa dinikmati oleh semua kelas masyarakat, dari bawah, menegah, hingga atas. SW