Jakarta— Pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-undang (UU) melalui Rapat Paripurna DPR yang digelar pada hari ini, Selasa (11/7/2023) menuai penolakan dari sejumlah tokoh dan organisasi profesi bidang kesehatan.
Dokter dan tenaga kesehatan (nakes) sebanyak puluhan ribu orang mengepung kawasan Gedung DPR RI, Jakarta. Beberapa aparat diterjunkan untuk mengendalikan situasi di depan gerbang gedung DPR.
Massa yang diperkirakan berjumlah lebih dari 10.000 tenaga kesehatan (Nakes) ini berkumpul sejak pukul 09.30 WIB dalam aksi bertajuk “Selamatkan Kesehatan Rakyat Indonesia”. Mereka berkerumun mengenakan kaos dan kemeja berwarna putih yang bertuliskan, stop RUU Kesehatan.
Massa tersebut berasal dari organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Meski didominasi oleh organisasi profesi (OP), namun di antara mereka juga ada sejumlah perawat mahasiswa kedokteran dari universitas se-Jabodetabek.
Aksi unjuk rasa ini digelar lantaran kekhawatiran para Nakes bahwa RUU Kesehatan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Setidaknya ada sembilan poin yang dipersoalkan di antaranya, pertama menyangkut organisasi keprofesian di kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, dan apoteker.
Menurut massa, di dalam aturan ini ada sembilan UU terkait keprofesian dan kesehatan dihilangkan. Mereka menilai, dihapuskannya lex specialis yang mengatur tentang keprofesian ini nantinya bisa berdampak pada kepastian hukum profesi.
Mereka menilai, RUU itu belum bisa menjamin perlindungan dan kepastian hukum tenaga medis atau kesehatan. Mereka juga menyayangkan dihapuskannya anggaran pembiayaan nakes, di mana sebelumnya sebesar 10% tertuang dalam APBN dan APBD.
Selain itu, ketiga, OP menyatakan keberatan atas aturan mengenai pasal aborsi yang di dalam RUU ini aborisi diperbolehkan hingga 14 minggu, di mana di pasar aborsi sebelumnya diatur maksimal 8 minggu. Mereka menyebut, pasal terkait aborsi dalam RUU Kesehatan dapat berpotensi meningkatkan angka kematian.
Selanjutnya, keempat, menurut Nakes, pembahasan RUU Kesehatan yang disebut RUU ini sangat cepat atau terkesan terburu-buru untuk segera disahkan. Kelima, mereka menyebut dalam penyusunan hingga pembahasan, lima OP sebagai pemangku kepentingan tidak dilibatkan dan cenderung tidak didengar.
Terakhir, para Nakes mengkritik aturan yang ada di Pasal 235 RUU Kesehatan di mana dalam aturan itu rumah sakit di Indonesia diperbolehkan mempekerjakan dokter asing. (*) RAL