Petugas Partai
Oleh: Sigit Pramono, Anggota Dewan Pakar Infobank
Jakarta—Setelah perjalanan darat yang cukup panjang dan lama, tiga minggu lebih, mulai 24 April 2023 yang lalu, keliling Jawa dari Jakarta – Banyuwangi – Bromo – Semarang – Yogyakarta – Jakarta, sore itu akhirnya saya masuk Jakarta kembali.
Tidak seperti biasanya, kali ini saya putuskan tidak langsung ke rumah, tetapi mampir dulu potong rambut di barber shop langganan saya belasan tahun di daerah Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta.
Tukang cukur yang menangani saya juga langganan lama. Namanya Ade Asgar, asli Garut. Seperti kebanyakan tukang cukur di Jakarta, mereka umumnya memang berasal dari Garut.
Ketika sampai Cikampek, saya telepon dulu si Ade, supaya ketika sampai di sana barber shop tidak tutup. Si Ade menjawab, “Kalau Bapak pasti mampir, akan saya tunggu meskipun sampai jam 21.00.”
Untung, saya sampai di sana pukul 19.00 WIB.
Ketika dicukur, saya biasanya terkantuk-kantuk. Bahkan, sesekali kebablasan tertidur. Apalagi, kali ini sehabis dari perjalanan darat yang melelahkan.
Oleh karenanya, untuk menghindari tertidur, saya iseng-iseng membuka pembicaraan dengan Ade si tukang cukur.
“De, nanti kalau pilpres kamu mau pilih siapa?”
“Pilih Prabowo, Pak”.
“Oh , pilih Prabowo, ya. Apa alasannya? Mengapa tidak pilih Ganjar Pranowo?
“Ganjar kan seperti Jokowi, Pak. Hanya petugas partai. Sedang Prabowo kan pemimpin partai. Dari pada pilih petugas partai, lebih baik pilih pemimpin partai, Pak.”
Saya sedikit tersentak atas jawaban Ade tersebut, tetapi tetap berusaha memperlihatkan bahasa tubuh dan mimik biasa saja.
“Petugas partai itu kan istilah saja. Sebetulnya yang dimaksud ya calon presiden terbaik pilihan partai,” saya kembali membuka obrolan.
“Ya tetap saja, artinya beda, Pak. Kalau pemimpin partai itu bisa menyuruh, kalau petugas partai disuruh-suruh. Petugas partai pasti akan didikte pemimpin partainya.”
Saya tidak berusaha mendebat Ade, tetapi kemudian menggeser sedikit topik pembicaraan.
“Kalau orang Garut atau orang Sunda menurut kamu akan pilih siapa?”
“Pilpres yang lalu umumnya mereka pilih Prabowo. Pilpres nanti kemungkinan besar juga akan pilih Prabowo, Pak.”
“Apa alasannya? Kenapa tidak pilih Jokowi seperti pada pilpres yang lalu, atau pilih Ganjar pada pilpres tahun depan?”
“Ya itu tadi, Pak. Mereka kan cuma petugas partai. Selain itu, pokoknya kita tidak akan memilih calon yang dipilih orang Jawa, Pak.”
“Lho kenapa? Orang Sunda kan juga orang Jawa. Orang yang tinggal di Pulau Jawa juga.”
“Beda, Pak. Orang Sunda itu lebih tua dari orang Jawa. Jadi, kita tidak harus ikut-ikutan pilihan orang Jawa.”
Meski mendapat jawaban dari Ade seperti itu, saya tidak sedang ada selera untuk berargumentasi dengan Ade. Saya juga merasa tidak perlu menjelaskan kepadanya bahwa Pithecanthropus Erectus, fosil manusia Jawa tertua, itu ditemukan di Sangiran, Sragen, di Jawa Tengah. Bukan di Garut.
“Tetapi Prabowo pada pilpres yang lalu kan tidak menang? Masak mau memilih lagi capres yang tidak akan menang?”
“Betul, Pak. Kita tahu yang menang pasti capres yang orang Jawa. Dan, dipilih oleh orang Jawa yang jumlahnya lebih banyak. Selama ini kan selalu begitu. Jadi pilihan kita pasti kalah dengan pilihan orang Jawa.”
“Lalu mengapa pilih capres yang kemungkinan besar akan kalah?”
“Ya yang pilpres nanti kan belum tentu kalah, Pak.”
“Ya betul juga. Tetapi kamu tahu nggak bahwa Jokowi itu dulu menang kan karena dipilih sebagian orang Sunda juga. Karena pengertian orang Jawa itu adalah orang yang tinggal di Pulau Jawa, termasuk orang Sunda. Ini bukan soal suku.”
“Oh begitu ya, Pak. Ngomong-ngomong waktu mau Lebaran, Bapak nggak cukur di sini kan, Pak? Jadi, saya belum dapat hadiah Lebaran dari Bapak nih.”
Sambil mengucapkan itu, Ade terlihat dari cermin, wajahnya menyeringai, sambil berharap.
Saya tahu, dia hanya berusaha mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia takut saya sedang berusaha untuk mengubah pendiriannya. Padahal, maksud saya mengajak dia bicara, supaya tidak jatuh tertidur ketika dicukur. Karena saya sama sekali tidak ada niatan untuk mengubah pendiriannya.
Saya kemudian mengambil dompet dan memberikan dia uang. Nilainya tidak seberapa, tetapi barangkali besar bagi dia, karena sama dengan tip yang diberikan lima orang pelanggannya.
Dia sangat gembira menerima uang Lebaran yang terlambat itu dan mengucapkan terima kasih sampai tiga kali, sambil bergumam, “Alhamdulillah, rezeki anak soleh nggak ke mana-mana”.
#JanganPernahMeragukanKecerdasanRakyatPemilih.
#JanganPernahSepelekanNarasiPolitikYangBaik.
Jakarta, 14 Mei 2023. (*)