Jokowi “Kencing Berdiri”, Kades “Kencing Berlari”
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta – “O Amuk Kapak”. Judul buku kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri (82) yang terbit tahun 1981 ini tampaknya analog dengan aksi demonstrasi ribuan massa Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (31/1/2024).
Terjadi amuk massa dalam unjuk rasa itu. Bahkan mereka mencoba merobohkan angkuhnya pintu gerbang rumah rakyat, dan juga menjebol temboknya. Bukan dengan kapak seperti puisi Presiden Penyair Indonesia itu, melainkan dengan palu godam. Tembok gerbang pun berlubang.
Tuntutan mereka satu: sahkan revisi Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Salah satu pasal krusial dalam revisi UU Desa itu menyangkut perubahan masa jabatan kepala desa (kades) dari sebelumnya 6 tahun menjadi 9 tahun.
Jabatan 6 tahun, klaim mereka, tidak cukup untuk menormalisasi konflik antar-warga yang muncul akibat pemilihan kepala desa (pilkades).
Ini sebangun dengan obsesi yang berkecamuk dalam benak Presiden Joko Widodo yang disinyalir ingin memperpanjang masa jabatan hingga 3 tahun sehingga menjadi 8 tahun di periode kedua ini, dengan dalih waktu 3 tahun tersita untuk mengatasi pandemi Covid-19 dari 2020 hingga 2023.
Obsesi ini disinyalir paralel dengan kehendak Jokowi untuk menambah periode jabatan presiden, dari dua periode menjadi tiga periode dengan mengamandemen Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, kedua obsesi ini “gatal’ (gagal total).
Akhirnya, Jokowi menyorongkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden bagi calon presiden Prabowo Subianto di Pemilihan Presiden 2024.
Jadi, ketika Apdesi menuntut perpanjangan masa jabatan, tampaknya mereka hanya mencontoh Jokowi. Ibaratnya, guru kencing berdiri murid kencing berlari.
Keduanya juga sama-sama kepala. Bedanya, Jokowi kepala negara, sedangkan para anggota Apdesi itu adalah kepala desa. Maka cara amuk mereka pun berbeda. Jika kades nengamuk secara fisik dengan aksi anarkis di gerbang Gedung DPR, Presiden Jokowi mengamuk secara politik dengan “mengobrak-abrik” Mahkamah Konstitusi (MK) demi pencalonan Gibran.
Melalui keputusan No 90/2023, MK yang saat itu diketuai adik ipar Jokowi, Anwar Usman memperbolehkan Gibran yang belum berusia 40 tahun menjadi caespres karena pernah/sedang menjabat kepala daerah. Gibran adalah Walikota Solo, Jawa Tengah.
Nanpaknya ada kesamaan antara Jokowi dan kades. Karakter mereka berubah setelah menjabat. Bila sebelumnya terkesan bersahaja dan taat asas, kini berubah menjadi haus jabatan dan terindikasi tidak taat asas lagi.
Benar kata Abraham Lincoln (1809-1865), Presiden ke-16 Amerika Serikat. Katanya, jika mau menguji karakter seseorang maka beri dia kekuasaan. Niscaya akan muncul karakter atau watak aslinya.
Adapun motif mereka mau memperpanjang masa jabatan atau melanggengkan kekuasan disinyalir adalah rasa takut. Takut kehilangan kekuasasn. Akibatnya, watak mereka rusak.
Benar kata Aung San Suu Kyi (78), pejuang demokrasi Myanmar saat menerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991. Katanya, bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan. Takut kehilangan kekuasaan merusak watak mereka yang berkuasa, takut dilanda kekuasaan merusak watak mereka yang dikuasai. Itulah!
Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).