Oleh Jovian Tan
PUBLIK merasa penasaran menunggu jawaban soal transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun yang sebagian besar berputar di lingkungan “Kementerian Sultan” Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Komisi 3 DPR yang mengundang Mahfud MD, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dalam Rapat Dengar Pendapapat Umum pada 29 Maret lalu, justru berputar-putar pada masalah administrasi.
Mahfud memerinci dugaan transaksi mencurigakan bernilai Rp349 triliun itu menjadi tiga kelompok, indikasi sumber transaksinya sudah diendus oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kepala PPATK Ivan Yustiavandana pernah mengatakan bahwa transaksi itu terkait kasus impor dan ekspor serta perpajakan. Ada temuan pada satu kasus ekspor dan impor ada transaksi mencurigakan yang nilainya mencapai Rp40 triliun hingga Rp100 triliun. Bahkan, PPATK juga telah menemukan oknum yang terdeteksi bermain di sektor ekspor dan impor serta perpajakan.
Indikasi tersebut sebetulnya bukan sesuatu yang mengagetkan. UN Comtrade, lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa yang mencatat transaksi perdagangan dunia, sudah lama menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara negara dengan lalu lintas pergerakan uang gelap (illicit financial flows) terbesar. Modus operandinya adalah dengan melakukan misinvoicing transaksi ekspor-impor terutama komoditas untuk menghindari pajak, pabean, dan royalty.
The Asian Post Research mencatat, pada 2022 Indonesia mencatat volume ekspor batubara sebesar 465,744 juta ton dengan nilai US$54,57 miliar. Secara statistik, harga yang tercatat sebesar US$117 per ton. Padahal, harga rata-rata batubara di pasar internasional tahun lalu menurut Trading Economics sebesar US$403 per ton. Sedangkan harga batubara acuan (HBA) yang ditetapkan pemerintah tahun lalu rata-rata US$276,58 per ton, di mana harga tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar US$330,97 per ton.
Di sini terjadi indikasi underinvoicing ekspor dimana nilai ekspor yang tercatat di Indonesia lebih kecil dari realisasi impor barang di negara tujuan ekspor. Jika dibandingkan dengan harga rata-rata di pasar internasional selisihnya sebesar US$286 per ton, yang kalau itu dikalikan dengan volume ekspor batubara yang sebesar 465,744 ton, maka ditaksir nilai ekspor yang tidak tercatat mencapai Rp133,46 miliar.
Dan setiap tahun terjadi selisih. Jika dijumlah dari selisih nilai ekspor batubara secara statistic dengan harga yang berlaku di pasar global selama 10 tahun dari 2013-2022, akumulasinya mencapai US$371,53 miliar atau sekitar Rp5.572 triliun.
Itu baru batubara, belum komoditas lain seperti minyak sawit, tembaga, karet olahan, kopi, dan lain-lain. Dan selain praktek underinvocing untuk komoditas ekspor, disinyalir banyak praktek overinvocing untuk barang-barang impor seperti bahan bakar minyak hingga barang modal seperti mesin. Maka jika terungkap transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun seperti disampaikan Mahfud MD itu tidaklah mengherankan.
Lembaga penelitian The Prakarsa juga mengungkapkan indikasi yang sama, yang menyebutkan ada nilai penggelapan di sektor batubara selama 10 tahun dari 2012- 2021 sebesar US$133,5 miliar atau setara sekitar Rp1.770 triliun. Nilai ini terdiri dari misinvocing ekspor senilai US$122,9 miliar (Rp1.630 triliun), serta misinvoicing impor senilai US$12,5 miliar (Rp165,8 triliun). Lembaga tersebut juga meneliti nilai penggelapan di sektor perikanan selama 10 tahun terakhir, yang sebesar US$9,7 miliar atau Rp128,6 triliun.
Besarnya aliran keuangan gelap mengindikasikan masih rendahnya tingkat tata kelola di pemerintahan bahkan justru mengakomodir para pemburu rente sekaligus ikut menjadi aktor di dalamnya hingga negara kehilangan potensi penerimaan yang besar dan seharusnya dinikmati masyarakat melalui pembangunan. Tragisnya, kendati aliran keuangan gelap telah menjadi sorotan lembaga dunia seperti UN Comtrade, belum ada itikad untuk diselesaikan. Bahkan, ketika Menko Polhukam Mahfud MD merilis angka transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun, DPR ikut menyerang dan menyalahkan.
Berapa potensi penerimaan negara yang hilang karena praktek misinovicing ekspor-impor komoditas? Benarkah aliran keuangan gelap ini melibatkan jaringan pemburu rente yang aktornya banyak di pemerintahan, politisi, dan pelaku usaha, sehingga sulit dibongkar?
Baca selengkapnya di E-Mag THE ASIAN POST Nomor 2 April 2023 secara gratis!