Sebuah pemikiran menjawab tantangan
oleh: Budi Wiweko
(Penulis adalah Guru Besar FKUI sekaligus pemenang pertama dosen berprestasi nasional tahun 2015)
Masih segar ingatan kita semua mengenai tantangan Bapak Presiden RI pada Pertemuan Forum Rektor di Makassar yang menyatakan perguruan tinggi saat ini “jalan di tempat” dan program studi perguruan tinggi di Indonesia dianggap tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta tidak menjawab masalah kekinian.
Berdasarkan data QS ranking, sebuah lembaga yang menentukan peringkat Universitas di dunia, posisi Universitas ditentukan berdasarkan reputasi akademik dosen dan karyawan, jumlah publikasi internasional, jumlah sitasi, serta jumlah dosen dan mahasiswa internasional di perguruan tinggi tersebut.
Tidaklah heran kalau Perguruan Tinggi di Indonesia juga berlomba-lomba mengejar target QS karena sampai saat ini Universitas Indonesia sebagai Perguruan Tinggi yang menduduki peringkat tertinggi di Indonesia hanya menempati posisi 227 dunia, bandingkan dengan Nanyang Technology University Singapore yang menduduki peringkat 13 atau National University Singapore yang menempati peringkat 15 dunia.
Kondisi sebaliknya bisa kita tinjau pada terminologi “The most innovative University in the world” yang menempatkan posisi Perguruan Tinggi berdasarkan jumlah hak paten yang diproduksi. Sepuluh besar peringkat dunia didominasi oleh Perguruan Tinggi negeri Paman Sam dengan satu Perguruan Tinggi dari benua Asia menduduki peringkat ke-6 yaitu Korean Advanced Institute of Science and Technology (KAIST).
Kita bisa melihat lebih detail bagaimana perguruan tinggi dunia mencetak ratusan paten internasional yang kemudian diproduksi secara massal oleh industri. Perguruan tinggi berlomba-lomba menjadi mesin “Research and Development” industri melalui berbagai riset dan inovasinya.
Stanford University menghasilkan 621 paten internasional pada kurun waktu 2009–2014 yang didominasi oleh produk alat kesehatan, obat dan bioteknologi lainnya. Untuk menilai potensi komersial lahir dari sebuah riset dapat dinilai berdasarkan berapa banyak produksi hak paten “mensitasi” publikasi hasil riset tersebut.
Dengan kata lain sebuah riset akan sampai pada titik inovasi bila mampu mencapai paten dan diproduksi secara massal. Konsep inilah yang sekarang diacu oleh berbagai universitas ternama di dunia untuk mengangkat Perguruan Tinggi sebagai area yang memiliki potensi keekonomian.
Knowledge economy
Menurut organization for economic cooperation and development (OECD), konsep “knowledge economy” saat ini dikenal sebagai pengendali utama produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang fokus pada peran dan pemanfaatan informasi, teknologi serta pembelajaran bagi kemajuan ekonomi.
Perguruan tinggi merupakan lembaga yang memenuhi kriteria sebagai lokomotif untuk mengembangkan area “knowledge economy” di setiap negara.
Beberapa dekade terakhir kemajuan ekonomi di negara Eropa dikendalikan oleh teknologi yang berasal dari diseminasi pengetahuan dan informasi yang terutama datang dari Perguruan Tinggi. Konsep “knowledge based economy” mengacu pada pentingnya tenaga kerja dengan kemampuan dan keterampilan tinggi untuk terus memimpin terjadinya proses inovasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.