AKSI premanisme yang diperlihatkan oknum sejumlah ormas membuat pelaku usaha resah. Bahkan, para penagih utang atau debt collector (DC) yang bertampang garang pun kini kesulitan.
Sebab, banyak ormas bertindak seperti penegak hukum gelap yang menjadi tempat berlindung bagi debitur yang lari dari tanggung jawab untuk membayar tunggakannya ke perusahaan pembiayaan maupun bank.
Banyak penagih utang memilih tiarap daripada menghadapi bentrokan, apalagi melawan Grib Jaya, yang diketahui publik sebagai ormas yang dekat dengan penguasa.
“Kami memilih tiarap. Kalaupun turun tapi ya berhati-hati. Kami membawa surat tugas resmi, tapi kalau lagi benturan di lapangan dengan ormas itu agak riskan. Anak-anak matel (mata elang_red) juga nggak bisa nongkrong di pinggir jalan, karena bisa diangkut oleh team berantas preman dari kepolisian,” ujar Piter, salah satu penagih utang seperti dikutip Majalah Infobank Nomor 566 Juni 2025.
Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengakui banyak anggotanya yang mendapatkan perlakukan intimidasi dari ormas, terutama saat mengambil unit kendaraan nasabah atau konsumen yang nunggak cicilan.
Padahal sesuai ketentuan undang-undang, kalau debitur tidak melaksanakan kewajibannya dalam membayar angsuran dan tidak menanggapi somasi wajib menyerahkan kendaraaannya atau perusahaan pembiayaan berhak melakukan penarikan.
Proses penarikan menjadi rumit ketika debitur bermasalah meminta dukungan dari ormas untuk menghalangi proses eksekusi. Kendati begitu, perusahaan pembiayaan harus menjaga kualitas aset sehingga tetap melakukan proses penagihan sampai eksekusi jaminan sesuai prosedur.
“Jika diperlukan minta bantuan pengadilan meskipun perusahaan sebenarnya dapat melakukan eksekusi dengan sertifikat fidusia, namun sering kali timbul kesulitan. Jadi jika kesulitan terjadi perusahaan pembiayaan akan menjalankan proses hukum melalui bantuan pengadilan dan aparat penegak hukum,” ujar Suwandi Wiratno, Ketua Umum APPI, seperti dikutip Majalah Infobank Nomor 566 Juni 2025.
Di tengah perkembangan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengingatkan agar perusahaan pembiayaan konsisten melakukan analisis kredit yang menyeluruh terhadap calon debitur.
“Termasuk dengan memanfaatkan infrastruktur yang saat ini tersedia untuk melakukan analisis kredit, seperti credit scoring, SLIK, analisis perilaku media sosial debitur, serta memastikan data yang diberikan debitur adalah data yang benar dan tidak menyesatkan,” ujar Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, seperti dikutip Majalah Infobank Nomor 566 Juni 2025.
Agusman menambahkan, perusahaan multifinance juga harus menganalisis data dan perilaku masyarakat di daerah yang dianggap sebagai “zona merah.”
“Perusahaan pembiayaan juga perlu melakukan analisis data dan perilaku terhadap penyaluran di daerah-daerah dengan tingkat keterjadian oknum yang melindungi debitur bermasalah. Selanjutnya, perusahaan pembiayaan juga harus selalu mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, norma, dan etika dalam melakukan penagihan serta eksekusi terhadap debitur bermasalah,” imbuhnya.
Daerah mana saja yang paling banyak ormas-nya dan menjadi “zona merah” yang dihindari perusahaan multifinance? Seperti apa performa perusahaan-perusahaan pembiayaan menurut hasil Rating 130 Multifinance 2025 yang berhasil meraih peluang di tengah badai PHK dan menjamurnya ormas? Simak selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 566 Juni 2025! (Karnoto Mohamad)