OJK: Perang Tarif Premi 1% Bikin Kompetisi Perusahaan Asuransi Jadi Tidak Sehat
Jakarta— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kian serius menyikapi persaingan harga premi yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan asuransi. Bahkan beberapa perusahaan terang-terangan memberikan harga premi lebih rendah dari 1%.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan NonBank OJK Ogi Prastomiyono menegaskan, perang harga premi rendah tersebut membuat kompetisi antarperusahaan asuransi semakin tidak sehat. Padahal, default kredit biaya premi seharusnya berada di kisaran 2-3%.
“Memang kami mencermati perkembangan harga untuk asuransi kredit di mana perusahaan menawarkan asuransi kredit yang harganya sangat rendah dan ini kami anggap tidak sehat. Karena itu rata-rata premi yang dibayarkan asuransi kredit itu kurang dari 1%. Sementara default untuk kredit itu di kisaran 2-3%,” ujarnya dalam acara Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan Desember 2022, di Jakarta, pada Senin (2/1/2022).
Ogi khawatir, dalam jangka panjang pereusahaan asuransi yang membaderol premi dengan harga rendah tidak mampu membayar klaim yang ditagihkan perbankan.
“Untuk itu kami sedang mengkaji dan akan mengatur mengenai batasan minimal premi untuk asuransi yang kami anggap tidak sehat,” sambungnya.
Di sisi lain, Ogi berpendapat sampai November 2022 premi asuransi masih menunjukkan pertumbuhan positif, kendati sebesar 0,44%.
Asuransi jiwa berkontribusinya sebesar Rp173 triliun atau terkoreksi sebesar 6,45%, sedangkan asuransi umum dan re-asuransi mencapai Rp106,9 triliun.
“Yang umum tumbuh 14,06%, tetapi asuransi jiwa terkontaksi 6,45%. Hal ini disebabkan karena OJK mengeluarkan SEOJK 05/2022 di mana kita mengoreksi mengenai proses penjualan daripada unit link yang sekarang lebih ketat dan ini kita lakukan pembaruan baru dan pemberlakukan itu akan efektif di Maret 2023,” ungkapnya.
Dia meramalkan, pertumbuhan premi asuransi pada 2023 akan terus meningkat sejalan dengan potensi pertumbuhan ekonomi kita masih baik, yakni di atas 5%. Apalagi, lanjutnya, penetration rate asuransi di Indonesia masih cukup rendah di bandingkan negara-negara lain. Artinya masih banyak peluang untuk pertumbuhan asuransi.
“Kemudian juga banyaknya aktivitas bisnis baik itu secara perusahaan maupun individual yang belum di-cover oleh asuransi dan ini akan cenderung menjadi kebutuhan masyarakat,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ranu Arasyki