THE ASIAN POST, JAKARTA ― Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perubahan perilaku individu karena kemajuan teknologi komunikasi membuat pembuat kebijakan harus responsif dan adaptif.
Masalahnya, kata Menkeu, secara umum pembahasan kebijakan membutuhkan waktu yang lama, baik pada saat identifikasi masalah serta menyusun alternatif solusinya maupun pada saat proses politik pembahasan selanjutnya di DPR.
Hal ini disampaikan Menkeu pada kuliah umum semester genap Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI dengan tema “Teori Kebijakan Fiskal dan Implementasinya di Indonesia” di Auditorium FEB-UI, Depok, Rabu (8/5).
“Dulu dibayangkan kebijakan itu membutuhkan waktu lama, namun dengan adanya sosial media, bisa saja Menteri Keuangan Amerika sudah memikirkan (postur dan asumsi) APBN, tiba-tiba Presiden Trump marah sama kongres. Kemudian dia bikin Twitter untuk merubah kebijakan,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, Kamis (9/5).
Akibatnya, lanjut Menkeu, kebijakan itu bisa diubah dalam 1 menit saja gara-gara Twitter. Jadi, policy seperti ini, in reality, menurut Menkeu, sangat kental dengan siapa yang membuat kebijakan dan bagaimana perilakunya.
“Sekarang dengan teknologi sosial media, banyak decision maker itu ingin berkomunikasi langsung dengan masyarakatnya. Sehingga institutional process-nya sangat unpredictable,” jelas Menkeu.
Namun demikian, katanya, untuk mengatasi isu-isu jangka pendek tersebut, Pemerintah memiliki kewenangan dalam melakukan kebijakan counter cyclical yang bersifat temporer.
“APBN atau fiscal policy memiliki automatic stabilizer sendiri,” kata Menkeu.
Artinya, kata dia, jika APBN sudah mengatakan tahun ini akan belanja (Rp)1.000 triliun, namun kemudian ekonomi melemah dan lesu, maka penerimaan pajak turun sedangkan belanja tetap. Maka, terjadilah automatic stabilizer dengan melalui ekspansi fiskalnya. Atau, sebaliknya, jika ekonomi sedang naik, maka pendapatan negara mendapatkan windfall.
“Penerimaan menjadi jauh lebih banyak, APBN menjadi automatic stabilizer dengan melakukan surplus. Itu yang disebut automatic counter cyclical,” jelas Menkeu.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menyatakan, kebiasaan pakar ekonom untuk memprediksi kondisi ekonomi berbasis tren data ditengarai tidak lagi efektif mengantisipasi perubahan lingkungan yang begitu cepat.
“Warren Buffet, salah satu orang terkaya di dunia bilang tidak ada buku teks ekonomi yang bisa memprediksi apa yang terjadi sejak 2017 sampai sekarang. Karena, kebiasaan ekonom untuk membaca, meramal dengan menggunakan tren dari data. Dia tidak membaca buku, membaca koran segala macam, proyeksikan saja. Ternyata itu harus berubah,” paparnya.
Ia mencontohkan, belum lama ekonom sudah optimis ada perjanjian dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, ternyata tiba-tiba mereka berselisih paham lagi. Dunia tidak bisa menebak itu sehingga terjadi gonjang-ganjing di pasar saham. []