KOMANDO Pasukan Khusus atau Kopassus menjadi satuan elite milik TNI yang diakui dunia. Sepak terjang institusi ini di medan tempur sungguh luar biasa, demi menjaga NKRI, baik ancaman dari luar maupun dalam negeri.
Rekam jejak Kopassus dalam menjaga kedaulatan Indonesia dicatat melalui upaya-upaya penyelamatan sengit dan berbahaya yang dilakukan para prajurit Kopassus.
Setidaknya ada empat nama jenderal TNI yang tercatat memiliki pengalaman tempur sengit saat bertugas di Kopassus.
Para jenderal-jenderal TNI ini dulunya merupakan prajurit andalan Kopassus untuk menjalankan misi-misi berbahaya.
Berikut di antara sejumlah Jenderal TNI yang punya pengalaman tempur sengit di Kopassus:
Benny Moerdani
Ketika terjadi konfrontasi militer Indonesia-Malaysia (1964), Benny Moerdani ketika itu bertugas memimpin tim kecil RPKAD (sekarang Kopassus) untuk menyusup ke Kalimantan Utara. Aksi fenomenalnya ketika ia menyusup di antara para prajurit Kopassus, dan turut serta dalam operasi pembebasan pesawat Woyla di Thailand.
Tragedi pembajakan pesawat DC 9 Woyla merupakan peristiwa terorisme pertama dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Dilansir dari buku Benny Moerdani “Yang Belum Terungkap” ,Tempo, PT Gramedia, saat itulah Kopassus memperlihatkan kehebatannya. Kala itu, pasukan yang diterjunkan adalah pasukan Grup 1 Koppasandha. Operasi tersebut di bawah komando Kepala Pusat Intelijen Strategis, Letjen Benny Moerdani.
Sedangkan, Letkol Infanteri Sintong Panjaitan ditunjuk menjadi pemimpin operasi di lapangan.
Pada Selasa (31/3/1981) sekitar pukul 02.30 WIB, pasukan Kopassus mulai bergerak setelah mendapat persetujuan dari pemerintah Thailand.
Sekitar pukul 02.00, tim bergerak mendekati pesawat dengan menaiki mobil VW Kombi. Berjarak sekitar 500 meter dari ekor pesawat, para pasukan pun mulai berjalan kaki. Saat itulah Benny Moerdani menyusup ke barisan tim Ahmad Kirang.
Penampilannya berbeda dari yang lain. Benny Moerdani memakai jaket hitam dan menenteng pistol mitraliur. Letkol Infanteri Sintong Panjaitan yang menjadi pemimpin operasi lapangan menjelaskan bahwa kehadiran Benny itu di luar skenario.
“Ini di luar skenario,” ujarnya dalam buku ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.’ Namun pada akhirnya Sintong membiarkan Benny Moerdani untuk tetap dalam pasukan. Setelah pesawat berhasil dikuasai pasukan Kopassus, Benny Moerdani lagi-lagi melakukan aksi tak terduga.
Benny Moerdani tiba-tiba masuk ke pesawat sambil menenteng pistol bersama Kolonel Teddy. Ia menuju kokpit dan menyuruh Teddy untuk memeriksa panel elektronik Woyla. Setelah dinyatakan aman dari ancaman bom yang diaktifkan melalui sirkuit pesawat, Benny Moerdani lantas mengambil mikrofon.
“This is two zero six. Could I speak to Yoga, please?” kata Benny. Yoga Soegomo yang berada di ruang crisis center di menara bandara pun merespons.
“Operasi berhasil, sudah selesai semua,” ujar Benny Moerdani melapor. Operasi pembebasan tersebut berjalan sukses dan menuai apresiasi dari dunia internasional.
AM Hendropriyono
Berdasarkan biodata yang tertera di Wikipedia, TNI (Purn) AM Hendropriyono mengawali karier militernya sebagai komandan peleton di Kopassus.
Ia kemudian menjelma sebagai seorang tokoh intelijen dan militer Indonesia. Ia menjadi Kepala Badan Intelijen Negara pertama dan dijuluki the master of intelligence karena menjadi “Profesor di bidang ilmu Filsafat Intelijen” pertama di dunia.
Selama berkarir di dunia militer, AM Hendropriyono terlibat dalam sejumlah operasi yang membesarkan namanya.
Ia pun dikenal sebagai penuntas insiden bersejarah, Peristiwa Talangsari 1989. Kala itu, Hendropriyono menindak potensi radikalisme dari Kelompok Warsidi di Talangsari, Lampung. Pertempuran antara tim Kopassus yang dipimpin AM Hendropriyono pun menumbangkan Kelompok Warsidi itu.
Belakangan kasus Talangsari menjadi sorotan para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM). Sebelum Peristiwa Talangsari 1989, Hendropriyono pernah melakukan aksi heroik bertempur dengan Pasukan Gerilya Rakya Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
Awalnya, pemerintah Soekarno sengaja membentuk pasukan gerilya saat konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1963-1966. Kedua pasukan itu dilatih secara khusus oleh TNI di Surabaya, Bandung, dan Bogor.
Namun, ketika kekuasaan Indonesia berpindah tangan pada Soeharto, anak asuh TNI itu justru berbalik menjadi musuh.
Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia. Kemudian pasukan gerilya itu diminta untuk menurunkan senjata. Tapi, rupanya mereka mengabaikan permintaan itu. Mau tak mau, pihak TNI pun harus menertibkan aksi para gerilyawan itu.
Akhirnya, AM Hendropiyono bersama prajurit dari tim Sandi Yudha turun tangan bertempur di hutan rimba kawasan Kalimantan. Sandi Yudha ini merupakan satuan intelijen tempur milik pasukan elite yang kini bernama Kopassus.
Awalnya, AM Hendropriyono berusaha keras untuk mengambil hati lawan tanpa tindakan keras. Tim Sandi Yudha ini beberapa kali berhasil mencuri simpati mereka. Satu di antaranya, dengan Wong Kee Chok, komandan PGRS. Namun, tak semua bisa diselesaikan secara baik-baik.
Pada akhirnya, tim Sandi Yudha memutuskan opsi terakhir, yakni menggunakan tindakan keras. Mulai dari penculikan dan interogasi, hingga melakukan perlawanan. Perlawanan yang membekas diingatan AM Hendropriyono, yakni berduel dengan Hassan, yang juga komandan PGRS.