Inovasi untuk Industri: Retorika atau Realita?
Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung.
Di setiap forum formal maupun informal, baik yang dihelat oleh pemerintah maupun entitas swasta, inovasi selalu didengungkan sebagai mantra sakti. Ia disebut-sebut sebagai kunci utama peningkatan daya saing industri nasional, solusi pamungkas untuk mengatasi momok deindustrialisasi yang menghantui perekonomian Indonesia.
Narasi ini begitu gencar dan masif, hingga inovasi seolah menjadi obat utama bagi segala persoalan industrial. Namun, di balik gemuruh retorika tersebut, terselip sebuah kejanggalan fundamental yang terlihat dalam hal ketidakjelasan mengenai siapa sebenarnya aktor yang bertanggung jawab untuk mengeksekusi inovasi ini dalam konteks industri komersial.
Ketika pertanyaan ini coba dijawab, kita justru menemukan sebuah peta tanggung jawab yang kabur dan saling lempar. Pihak industri, sebagai garda terdepan produksi, cenderung terfokus pada optimalisasi proses manufaktur dengan teknologi yang sudah ada dan teruji.
Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka lebih condong pada efisiensi produksi ketimbang eksplorasi radikal yang berisiko. Pengembangan produk baru, yang seringkali disamakan dengan inovasi, dalam praktiknya lebih banyak berupa modifikasi minor atau diversifikasi produk yang masih berada dalam koridor teknologi yang dikuasai, umumnya teknologi impor.
Kegiatan riset dan pengembangan (R&D) yang disruptif dan berorientasi pada penciptaan nilai baru secara fundamental bukanlah menjadi menu utama kegiatan industri secara umum di Indonesia.
Rendahnya Indeks Inovasi Indonesia di Kancah Global
Meskipun Indonesia telah menunjukkan tren perbaikan dalam Indeks Inovasi Global (GII) beberapa tahun terakhir, posisinya secara keseluruhan masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan banyak negara, termasuk beberapa di kawasan ASEAN.
Rendahnya peringkat ini salah satunya disebabkan oleh kinerja yang kurang optimal pada beberapa pilar fundamental inovasi. Secara konsisten, Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam pilar “Modal Manusia dan Riset,” yang tercermin dari rendahnya intensitas dan kualitas kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), serta skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang masih di bawah rata-rata global.
Selain itu, pilar “Kecanggihan Bisnis” dan “Output Pengetahuan dan Teknologi” juga kerap menunjukkan skor yang lebih rendah, mengindikasikan adanya kesulitan dalam menghasilkan iuaran inovasi yang signifikan seperti paten berskala internasional dan publikasi ilmiah berkualitas tinggi, serta kurangnya pekerja berbasis pengetahuan (knowledge workers) di sektor bisnis.
Lebih lanjut, beberapa faktor mendasar berkontribusi terhadap rendahnya skor inovasi Indonesia. Alokasi anggaran untuk riset dan pengembangan, baik dari pemerintah maupun sektor swasta, masih sangat terbatas dibandingkan negara-negara inovatif lainnya.
Proporsi belanja R&D terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk yang terendah. Investasi dalam pendidikan, khususnya kualitas dan pemerataan, juga masih menjadi pekerjaan rumah besar yang berdampak pada ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten untuk mendorong inovasi.
Tantangan lain meliputi infrastruktur yang belum merata dan berkualitas tinggi di seluruh negeri, termasuk infrastruktur digital, yang menghambat penyebaran dan adopsi teknologi. Lemahnya ekosistem untuk komersialisasi hasil riset dan kolaborasi yang belum optimal antara lembaga penelitian, universitas, industri, dan pemerintah juga turut memperlambat laju inovasi nasional.
Kebijakan Makro dan Riset Dasar
Di sisi lain, pemerintah, dalam perannya sebagai regulator dan fasilitator, memang aktif merumuskan berbagai kebijakan dan strategi nasional untuk mendorong inovasi.
Namun, peran pemerintah umumnya berhenti pada tataran pembuatan kerangka regulasi, insentif fiskal, atau program-program pendampingan yang bersifat umum.
Pemerintah tidak secara langsung menjalankan inovasi untuk kebutuhan industri komersial. Fungsi ini idealnya diemban oleh entitas bisnis, namun seperti dibahas sebelumnya, pihak industri memiliki keterbatasan dan prioritas berbeda.
Ada semacam jurang antara formulasi kebijakan inovasi di tingkat makro dengan implementasi praktis di level mikro perusahaan.
Kejanggalan ini semakin terlihat ketika kita menilik peran lembaga riset dan inovasi milik pemerintah, seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau lembaga penelitian di bawah kementerian teknis lainnya.
Lembaga-lembaga riset ini, dengan sumber daya dan mandat yang dimiliki, diharapkan menjadi motor penggerak inovasi. Akan tetapi, fokus mereka seringkali lebih terarah pada riset-riset fundamental atau riset dasar (basic research).
Meskipun riset fundamental memiliki nilai strategis jangka panjang yang tak terbantahkan, output-nya seringkali belum siap pakai untuk aplikasi industri komersial dalam waktu dekat. Proses hilirisasi hasil riset fundamental menjadi produk atau teknologi inovatif yang siap diadopsi industri masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dan kompleks.
Industri dan Ketergantungan Teknologi Impor
Sektor industri di Indonesia, terutama di luar segmen usaha besar atau multinasional tertentu, cenderung mengadopsi pendekatan pragmatis dalam hal teknologi. Mereka lebih memilih menggunakan teknologi dan produk yang sudah mapan, terbukti andal, dan memiliki risiko kegagalan yang rendah.
Celakanya, sebagian besar teknologi mapan ini berasal dari luar negeri, alias impor. Ketergantungan pada teknologi impor ini menciptakan siklus yang sulit diputus.
Minimnya tekanan untuk berinovasi secara mandiri karena ketersediaan solusi impor, ditambah dengan biaya riset dan pengembangan yang dianggap mahal dan berisiko, membuat industri enggan berinvestasi besar dalam kegiatan inovasi yang sesungguhnya.
Akibatnya, nilai tambah yang dihasilkan industri nasional cenderung terkonsentrasi pada aspek manufaktur dan perakitan, bukan pada penciptaan kekayaan intelektual atau penguasaan teknologi inti.
Ketika terjadi perubahan teknologi global atau pergeseran permintaan pasar, industri nasional yang tidak memiliki fondasi inovasi yang kuat akan rentan terhadap guncangan.
Fenomena “middle-income trap” yang sering dikhawatirkan salah satunya berakar dari ketidakmampuan untuk bertransformasi dari ekonomi berbasis efisiensi menjadi ekonomi berbasis inovasi. Inovasi bukan hanya soal produk baru, tetapi juga proses baru, model bisnis baru, hingga cara baru dalam berorganisasi dan memasarkan.
Inovasi sangat terbatas di Perguruan Tinggi dengan tugas Tri Dharmanya
Perguruan tinggi, sebagai pusat keunggulan akademik dan penelitian, juga memiliki peran strategis dalam ekosistem inovasi. Namun, kegiatan riset dan pengembangan (R&D) yang dilakukan di lingkungan kampus bukan tugas utama disamping tugas pendidikan.
Inovasi yang muncul dari perguruan tinggi masih sangat minim dengan segala keterbatasan terlebih keterbatasan pendanaan. Orientasi riset di perguruan tinggi lebih banyak didorong oleh target publikasi ilmiah di jurnal-jurnal bereputasi internasional atau pemenuhan tridharma perguruan tinggi secara formal.
Meskipun ini penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan peningkatan reputasi akademik, keterkaitannya dengan kebutuhan konkret industri komersial seringkali lemah.
Ada semacam “lembah kematian” (valley of death) yang memisahkan hasil riset akademis dengan produk inovatif yang siap dikomersialkan. Diperlukan jembatan penghubung yang kuat, berupa mekanisme inkubasi, akselerasi, transfer teknologi, dan pendanaan tahap awal yang memadai untuk mentransformasi temuan-temuan riset menjadi inovasi yang bernilai ekonomi.
Kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri yang bersifat transaksional atau seremonial belum cukup; dibutuhkan kemitraan strategis jangka panjang yang didasari oleh saling pengertian akan kebutuhan dan kapasitas masing-masing pihak.
Pendanaan dan Jerat Capaian
Masalah pendanaan inovasi juga menjadi simpul persoalan berikutnya. Anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan riset dan inovasi, baik dari pemerintah maupun swasta, seringkali dinilai sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan riil atau jika diperbandingkan dengan negara-negara lain yang telah maju industrinya.
Lebih jauh lagi, mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban dana riset dan inovasi kerap terjebak pada “capaian verbal” atau indikator-indikator formalistik yang tidak selalu mencerminkan substansi inovasi yang sebenarnya.
Fokus pada jumlah paten yang didaftarkan tanpa memperhatikan kualitas atau potensi komersialisasinya, atau penekanan pada jumlah kegiatan seminar dan lokakarya tanpa evaluasi dampak konkretnya, adalah contoh dari jebakan ini.
Akibatnya, sumber daya yang terbatas tersebut menjadi kurang efektif dalam menghasilkan terobosan inovatif yang signifikan. Ada kebutuhan mendesak untuk mereformasi sistem pendanaan inovasi, dari yang bersifat hibah dengan pertanggungjawaban administratif yang kaku, menjadi skema investasi yang lebih fleksibel, berorientasi pada hasil (outcome-based), dan berani mengambil risiko terukur.
Pendanaan ventura (venture capital) atau angel investor yang spesifik untuk inovasi teknologi tahap awal masih sangat langka di Indonesia. Ini menciptakan kekosongan dalam rantai pendanaan, terutama bagi para inovator individu atau startup teknologi yang baru merintis.
Inovasi Tertutup
Harus diakui, tidak semua industri di Indonesia abai terhadap inovasi. Terdapat industri-industri tertentu, biasanya perusahaan skala besar atau yang memiliki afiliasi dengan korporasi global, yang secara konsisten dan tertutup menjalankan kegiatan inovasi.
Fokus mereka umumnya adalah inovasi produk untuk mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar, atau inovasi proses untuk efisiensi biaya. Kegiatan inovasi ini dilakukan secara internal, dengan sumber daya dan kapabilitas R&D yang mereka miliki sendiri, dan seringkali hasilnya tidak dipublikasikan secara luas untuk menjaga keunggulan kompetitif.
Meskipun keberadaan “oase inovasi tertutup” ini patut diapresiasi, model ini memiliki keterbatasan jika diharapkan menjadi motor penggerak inovasi nasional secara keseluruhan.
Sifatnya yang eksklusif dan sporadis tidak cukup untuk menciptakan efek gelombang (multiplier effect) yang luas bagi ekosistem industri secara keseluruhan.
Selain itu, inovasi yang terjadi cenderung bersifat inkremental, bukan disruptif, karena orientasinya lebih pada kepentingan bisnis internal perusahaan ketimbang penciptaan pasar baru atau solusi atas tantangan nasional yang lebih besar. Diperlukan model inovasi yang lebih terbuka (open innovation) dan kolaboratif.
Jargon Inovasi
Dengan berbagai kejanggalan dan persoalan yang telah diuraikan, klaim bahwa inovasi adalah strategi utama peningkatan industri di Indonesia menjadi terdengar lebih sebagai jargon ketimbang kenyataan yang terukur.
Penggunaan kata “inovasi” yang begitu masif dalam berbagai pidato, dokumen kebijakan, dan seminar, tanpa disertai dengan peta jalan yang jelas mengenai siapa pelaksananya, bagaimana mekanismenya, dan apa target konkretnya, berpotensi menjadi kamuflase atas stagnasi struktural dalam pengembangan industri nasional.
Ketika semua pihak merasa telah “berinovasi” hanya dengan menyebut kata tersebut, maka esensi dari inovasi itu sendiri – yaitu penciptaan nilai baru yang signifikan dan berkelanjutan – justru terabaikan.
Ketimpangan antara retorika dan realitas ini memiliki konsekuensi serius. Sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan secara efektif untuk mendorong inovasi sejati menjadi tersebar dan tidak fokus. Kepercayaan publik dan pelaku industri terhadap efektivitas program-program pemerintah terkait inovasi bisa terkikis.
Lebih jauh lagi, Indonesia berisiko semakin tertinggal dalam persaingan global, di mana inovasi teknologi dan model bisnis baru menjadi penentu utama daya saing suatu negara. Deindustrialisasi bukan hanya soal penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, tetapi juga kegagalan dalam meningkatkan kompleksitas dan nilai tambah produk industri.
Membangun Ekosistem Inovasi yang Terpadu dan Berkelanjutan
Untuk keluar dari jebakan jargon inovasi, diperlukan sebuah upaya transformatif yang komprehensif. Ini bukan hanya soal menambah anggaran riset, tetapi membangun sebuah ekosistem inovasi yang terpadu, di mana setiap aktor – industri, pemerintah, lembaga riset, perguruan tinggi, dan lembaga keuangan – memainkan peran yang jelas, sinergis, dan saling mendukung.
Diperlukan kepemimpinan yang kuat dan visioner untuk mengorkestrasi ekosistem ini, serta meruntuhkan sekat-sekat ego sektoral yang selama ini menghambat kolaborasi.
Pemerintah perlu bergeser dari peran sebagai penyedia utama dana riset menjadi fasilitator dan enabler, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya investasi swasta dalam R&D.
Industri perlu didorong untuk melihat inovasi bukan sebagai biaya, melainkan sebagai investasi strategis jangka panjang. Lembaga riset dan perguruan tinggi harus lebih proaktif dalam menjembatani hasil risetnya dengan kebutuhan industri, serta mengadopsi metrik kinerja yang tidak hanya berorientasi pada publikasi, tetapi juga pada dampak komersial dan sosial.
Skema pendanaan inovasi harus direformasi agar lebih fleksibel, berani mengambil risiko, dan fokus pada hasil.
Transformasi Sistem Inovasi Nasional
Pada akhirnya, masa depan industri Indonesia sangat bergantung pada kemampuannya untuk berinovasi secara nyata, bukan sekadar mengumandangkan jargon.
Sudah saatnya semua pemangku kepentingan duduk bersama, bukan untuk saling menyalahkan atau melempar tanggung jawab, tetapi untuk merumuskan secara konkret siapa melakukan apa dalam orkestrasi besar inovasi nasional.
Perlu ada pembagian peran yang jelas, target yang terukur, dan mekanisme insentif-disinsentif yang efektif untuk mendorong setiap aktor berkontribusi secara optimal.
Transformasi dari ekonomi berbasis sumber daya alam dan upah murah menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi adalah sebuah keniscayaan jika Indonesia ingin keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan menjadi negara maju.
Ini membutuhkan komitmen politik yang kuat, perubahan paradigma berpikir, dan kerja keras berkelanjutan dari semua elemen bangsa. Inovasi bukanlah kata ajaib, melainkan hasil dari sebuah proses sistemik yang dirancang, diimplementasikan, dan dievaluasi secara cermat.
Tanpa kejelasan siapa yang memegang dayung dan ke mana arah perahu akan dibawa, retorika inovasi hanya akan menjadi gema kosong di tengah tantangan deindustrialisasi yang semakin nyata.