Ikhtiar Meringankan Co-Payment, Kuatkan Perlindungan Sosial Kesehatan
Oleh Diding S. Anwar, Ketua Komite Tetap Penjaminan, Perasuransian, dan Industri Keuangan KADIN Indonesia Bidang Fiskal, Moneter, Industri Keuangan (FMIK); Ketua Bidang Penjaminan Kredit UMKM dan Koperasi RGC Fakultas Ilmu Administrasi UI; serta Ketua Pelaksana Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) – GKB BPP GAPENSI.
Semangat dan aksi membangun keadilan serta perlindungan sosial atas risiko kesehatan dan kecelakaan adalah amanat yang tidak bisa ditunda. Negara Indonesia telah menghadirkan semangat perlindungan sosial itu melalui dua fondasi penting, yakni BPJS Kesehatan, yang menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional, dan Jasa Raharja, yang memberikan santunan dasar bagi korban kecelakaan lalu lintas.
Namun, dalam praktiknya, masyarakat masih kerap menghadapi tantangan serius, berupa beban biaya tambahan atau co-payment yang memberatkan, terutama di saat-saat paling rentan.
Masalah ini bukan semata soal biaya. Ia menyangkut keterbatasan manfaat, ketidaktahuan prosedur, serta belum terbangunnya sistem yang menyatukan berbagai penyelenggara jaminan dalam satu ekosistem perlindungan yang terkoordinasi.
Dalam sistem saat ini, BPJS Kesehatan menetapkan co-payment dalam kondisi tertentu, misalnya saat peserta memilih naik kelas rawat inap tanpa indikasi medis atau menggunakan layanan di luar rujukan.
Sementara itu, Jasa Raharja tidak menerapkan co-payment, namun memiliki batasan nilai santunan, yakni Rp20 juta untuk luka-luka dan Rp50 juta untuk meninggal dunia, yang belum tentu cukup menutupi seluruh biaya pelayanan medis.
Ketika biaya rumah sakit melebihi plafon Jasa Raharja, dan layanan tidak seluruhnya masuk cakupan BPJS, maka peserta bisa terpaksa membayar selisihnya secara mandiri.
Sering kali, tidak ada sistem terpadu yang mengatur bagaimana ketiga entitas, Jasa Raharja, BPJS, dan Asuransi Swasta, bisa saling mengisi. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat menjadi korban kebingungan administratif, atau bahkan menanggung beban ganda.
Coordination of Benefit (CoB) menjadi solusi yang bijak dan berkeadilan
Coordination of Benefit (CoB) adalah mekanisme koordinatif antarlembaga jaminan, baik publik maupun swasta, untuk membagi tanggung jawab pembiayaan pelayanan kesehatan secara adil dan terstruktur.
Tujuannya bukan hanya efisiensi sistem, tetapi lebih dari itu: mencegah peserta menanggung lebih dari yang semestinya.
Dengan CoB, pembiayaan pasien dapat tersusun secara berlapis:
1. Jasa Raharja menanggung biaya dasar kecelakaan.
2. BPJS Kesehatan masuk sebagai penjamin lanjutan jika masih dalam cakupan manfaat.
3. Asuransi Swasta, bila ada, menyempurnakan perlindungan sesuai polis tambahan.
Mekanisme seperti ini sudah diterapkan di banyak negara. Thailand dan Inggris menyediakan layanan kesehatan universal tanpa co-payment melalui pembiayaan negara. Sementara Prancis dan Jepang menerapkan co-payment, tetapi dilengkapi dengan asuransi pelengkap koperatif (top-up insurance) yang terjangkau.
Langkah Strategis ke Depan yang perlu dipertimbangkan
Agar CoB dapat dijalankan secara optimal di Indonesia, berikut beberapa langkah yang layak dipertimbangkan:
1. Integrasi sistem digital antara BPJS, Jasa Raharja, dan asuransi komersial untuk menyederhanakan proses klaim dan verifikasi manfaat.
2. Regulasi nasional lintas sektor yang memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan CoB, disusun secara kolaboratif oleh Kemenkes, Kemenkeu, OJK, dan para penyelenggara jaminan.
3. Penyesuaian plafon santunan Jasa Raharja, yang sudah hampir satu dekade belum direvisi, agar selaras dengan biaya pelayanan medis saat ini.
4. Insentif regulasi bagi perusahaan asuransi yang mengembangkan produk pelengkap tanpa co-payment.
5. Literasi publik yang intensif dan humanis, agar masyarakat memahami hak dan alur klaim dalam skema perlindungan berlapis ini.
6. Evaluasi dan penguatan pelaksanaan reasuransi wajib serta pengelolaan own retention (OR) agar industri asuransi tetap tangguh, namun tidak membebankan peserta.
Menuju Sistem yang Lebih Adil dan Empatik
CoB bukan hanya soal manajemen klaim atau efisiensi anggaran. Ia adalah wujud nyata empati kebijakan, bahwa ketika masyarakat mengalami musibah atau sakit, negara dan sektor usaha hadir bukan sebagai birokrasi yang rumit, tetapi sebagai tangan yang saling menopang.
Dengan menyatukan kekuatan antar penyelenggara jaminan dalam satu sistem perlindungan sosial yang terkoordinasi, kita menegaskan bahwa perlindungan rakyat adalah hasil kerja kolektif, bukan beban satu pihak semata.
Mari kita bangun sistem yang bekerja bersama, bukan sama sama kerja (sendiri-sendiri).
Karena dalam perlindungan sosial yang adil, tidak boleh ada rakyat yang menanggung luka dan biaya sendirian.