Jakarta — Hari-hari ini adalah hari penentuan nasib politik Gibran Rakabuming Raka di masa depan. Publik mayoritas berharap dia menyikapi dengan bijak putusan MK.
Andai dia menyatakan dengan tegas menolak tawaran Prabowo, dia akan dikenang sepanjang sejarah sebagai tokoh muda dengan integritas dan etika politik yang tinggi. Ini akan menjadi modal luar biasa bagi karier politiknya ke depan.
Andai, ini hanya berandai-andai ya, hari ini dia berucap begini:
“Terima kasih sebesar-besar atas dukungan banyak pihak yang menginginkan saya mendampingi Pak Prabowo sebagai cawapres. Namun, meski secara legal saya memenuhi syarat, tapi saya menolak tawaran terhormat itu.”
“Saya merasa belum pantas di posisi terhormat itu. Masih banyak anak bangsa lain yang lebih pantas duduk di posisi itu.”
Andai Gibran hari ini mengucapkan kalimat itu, dia akan menyelamatkan banyak pihak. Pertama, Jokowi. Posisi Jokowi yang oleh internal PDIP saat ini dituding sebagai pengkhianat dan tidak tahu balas budi, akan mereda.
Bagaimana pun, Jokowi dan keluarganya selama ini telah mendapat fasilitas luar biasa dari PDIP. Setidaknya, Megawati telah memberikan tujuh tiket ke Jokowi dan keluarganya. Dua di antaranya golden tiket: tiket capres 2014 dan 2019.
Lima tiket lainnya adalah: 1 tiket cagub DKI dan 2 tiket cawali Solo untuk Jokowi, 1 tiket cawali Solo untuk Gibran, dan 1 tiket cawali Medan untuk Bobby.
Dengan ucapan itu, Gibran juga akan menyelamatkan citra Jokowi yang akan berakhir masa kepemimpinannya dengan citra tetap gemilang.
Kedua, dia akan menyelamatkan karier politiknya ke depan. Kecuali dia ingin menjadi politisi dengan citra dan etika politik yang kurang baik.
Setelah ini, dia ingin jadi apapun, publik dipastikan akan mendukungnya. Jadi Gubernur Jateng, atau DKI, misalnya. PDIP pun, mungkin, akan mensupportnya.
Ketiga, dia menyelamatkan konstitusi. Putusan MK patut diduga cacat hukum. Beberapa pakar hukum menilai putusan tersebut berpotensi bermasalah.
Ini yang paling penting. Konstitusi dalam demokrasi dan bernegara adalah segalanya. Dia jantung. Ketika konstitusi audah dikangkangi, tak usah bicara yang lain, mending ke laut saja. Tabik. (Darto Wiryosukarto)