Risk Transfer jadi Kunci Stabilitas dan Pertumbuhan Industri Asuransi
Jakarta– PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re sukses menyelenggarakan forum Insurance Industry Dialogue bertajuk “Enhancing The Resilience of Insurance Industry: Synergizing Capital Management and GRC” di St. Regis Jakarta, Selasa (30/9).
Acara ini menghadirkan regulator, pelaku industri, akademisi, praktisi hukum, serta lembaga pengawas negara sebagai wadah diskusi strategis untuk memperkuat struktur permodalan dan tata kelola industri perasuransian nasional.
Direktur Utama Indonesia Re, Benny Waworuntu, dalam sambutannya menyampaikan bahwa ketahanan industri perasuransian tidak hanya ditentukan oleh kecukupan modal, tetapi juga oleh integritas dan tata kelola yang baik.
“Industri perasuransian tengah menghadapi tekanan yang cukup kuat. Risiko semakin meningkat, mulai dari dampak perubahan iklim, ancaman siber, hingga dinamika geopolitik. Setiap premi yang diperoleh harus diiringi dengan penguatan permodalan dan tata kelola. Sinergi antara capital management dan Governance, Risk, and Compliance (GRC) akan menjadi fondasi membangun industri perasuransian yang tangguh, dipercaya publik, dan berdaya saing global,” ujarnya.
GRC menjadi kerangka penting yang memastikan pengelolaan risiko dan modal dijalankan dengan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap peraturan.
Dalam konteks industri asuransi, GRC bukan sekadar kepatuhan administratif, tetapi merupakan sistem yang memastikan setiap keputusan bisnis, termasuk strategi permodalan dan reasuransi, dijalankan secara transparan, prudent, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Melalui pendekatan ini, industri diharapkan mampu menjaga kepercayaan publik dan mendukung stabilitas sektor keuangan nasional.
Industri asuransi dan reasuransi dikenal sebagai sektor yang padat modal (highly capital intensive).
Namun, di tengah dinamika risiko global yang semakin kompleks, modal besar saja tidak lagi menjadi jaminan ketahanan.
Kini, ketahanan industri ditentukan oleh kemampuan perusahaan memanfaatkan instrumen risk transfer modern yang mampu memberikan capital relief dan capacity relief secara efektif.
Dalam forum tersebut, Roshan Perera, Head of Strategic Solutions APAC Gallagher Re, menegaskan pentingnya peran reasuransi sebagai alat strategis dalam pengelolaan risiko dan modal.
“Reasuransi selalu menjadi alat strategis yang sangat penting bagi perusahaan asuransi dalam mengelola volatilitas keuntungan, risiko, kapital, dan pertumbuhan. Perubahan hanya terjadi pada analitik dan regulasi, sehingga transfer risiko kini menjadi lebih transparan dan efektif,” ujar Roshan.
Roshan juga menambahkan bahwa dengan kemampuan analitik yang semakin presisi dan regulasi yang lebih sensitif terhadap risiko, perusahaan asuransi kini dapat mengoptimalkan produk reasuransi tidak hanya sebagai proteksi, tetapi juga sebagai instrumen manajemen modal yang krusial.
Instrumen seperti Quota Share (QS) dan Loss Portfolio Transfer (LPT) disebut sebagai instrument strategis dalam menjaga stabilitas keuangan perusahaan.
Quota Share memberikan keringanan modal secara bertahap melalui pembagian risiko premi dan klaim, sementara Loss Portfolio Transfer menawarkan dampak instan dengan memindahkan klaim eksisting ke reasuradur, sehingga memberikan ruang modal baru pada neraca perusahaan.
Secara global, transaksi retrospective deals seperti LPT telah menjadi praktik umum di Eropa dan Amerika Serikat dalam manajemen modal perusahaan asuransi.
Tren serupa kini mulai berkembang di Asia, termasuk Indonesia, meskipun masih memerlukan edukasi lebih lanjut bagi regulator maupun pelaku industri.
Namun, strategi risk transfer tidak hanya berhenti pada instrumen keuangan.
Roshan menekankan pentingnya faktor manusia dan infrastruktur teknologi dalam keberhasilan implementasi strategi tersebut.
“Seminar, asosiasi industri, hingga kolaborasi dengan regulator hanya akan efektif jika didukung oleh talenta yang mumpuni dan infrastruktur teknologi yang tepat,” jelasnya.
“Solusi yang dulu dianggap non-tradisional kini justru menjadi arus utama. Dengan mekanisme ini, perusahaan dapat menjaga pertumbuhan bisnis tanpa mengorbankan ketahanan modalnya,” tutup Roshan.
Dari perspektif regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan pentingnya pemanfaatan reasuransi untuk memperkuat permodalan.
Iwan Pasila, Deputi Komisioner PPDP OJK, mengatakan bahwa industri asuransi dan reasuransi tidak hanya memberikan proteksi, tetapi juga berperan sebagai investor institusional dengan aliran dana jangka panjang bagi perekonomian.
“Pengaturan reasuransi untuk meredakan tekanan modal pada produk baru itu perlu. Ini bagian dari dorongan kami agar manajemen risiko dijalankan dengan benar, sekaligus menjaga ketahanan perusahaan di bawah kerangka RBC dan IFRS 17,” ujarnya.
OJK menyoroti risiko katastrofik akibat bencana alam, mortalitas pasca pandemi, hingga risiko siber yang semakin canggih. Dalam konteks ini, pemanfaatan instrumen risk transfer menjadi vital untuk mengurangi tekanan modal (capital strain) sekaligus mendukung kepatuhan terhadap IFRS 17 yang menuntut transparansi lebih tinggi dalam pencatatan aset dan liabilitas.
Iwan menambahkan, tata kelola (governance), kualitas SDM, dan digitalisasi infrastruktur merupakan kunci transformasi ekosistem asuransi Indonesia.
Tanpa fondasi tersebut, penerapan regulasi maupun pemanfaatan reasuransi tidak akan berjalan optimal.
Dengan tingkat penetrasi asuransi Indonesia yang masih rendah, tantangan industri tidak hanya mempersempit protection gap, tetapi juga menjaga ketahanan modal agar mampu menopang pertumbuhan jangka panjang.
Dalam kerangka itu, reasuransi modern bukan lagi sekadar mekanisme proteksi, melainkan pilar strategis untuk menjaga solvabilitas, memperluas kapasitas, dan memperkuat keberlanjutan industri perasuransian nasional. (*)Alfi Salima Puteri