BOSS perusahaan financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending harus bersiap-siap mencari investor baru di tengah pengetatan likuiditas global dan rontoknya nilai perusahaan-perusahaan berbasis teknologi. Sebab, kendati industry P2P lending atau pinjaman online (pinjol) terus mencatat pertumbuhan positif asset, namun fundamentalnya masih banyak yang merah.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pinjaman dari P2P lending yang sebanyak 102 buah sebesar Rp49,34 triliun atau meningkat 76,80% yoy sampai Oktober 2022. Namun, dengan biaya operasi dibanding pendapatan operasi (BOPO) yang sebesar 100,70%, P2P lending masih mencatat kerugian sebesar Rp148 miliar.
Menurut Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, kerugian P2P lending disumbang oleh lebih dari separoh perusahaan yang diawasi dan mengantongi izin OJK.
“Profitabilitas P2P Lending masih berada dalam zona negatif yang cukup dalam. Dari 102 P2P lending, 61 perusahaan negatif, bahkan 3 perusahaan mencatat ekuitas negatif,” ujar Ogi Prastomiyono, di Bogor, 2 Desember 2022.
Saat ini, OJK akan membuka moratorium untuk P2P lending namun diiringi dengan langkah pengetatan yaitu menaikkan ketentuan permodalan dari Rp12,5 miliar.
“Kami akan me-review kapan moratorium akan dibuka. Setelah moratorium dibuka, ekuitas akan naik menjadi Rp25 miliar, ini dalam tiga tahun ke depan. Kami akan memantau perkembangan, di mana ini akan menjadi kompetisi yang alamiah apakah dari 102 P2P lending akan bertahan untuk memenuhi ketentuan yang ada,” ujar Ogi.
Penulis: Karnoto Mohamad