Jakarta — Hari ini Badan Legislasi atau Baleg DPR akan menggelar rapat seusai Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Kabarnya, mereka rapat bukan untuk mengesahkan putusan MK tersebut, tapi untuk menganulir.
Seperti diketahui, MK sebelumnya menurunkan ketentuan ambang batas Pilkada melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Ambang batas yang tadi 20 persen perolehan kursi DPR/DPRD atau 25 persen perolehan suara keseluruhan, diturunkan menjadi paling sedikit 6,5 persen sesuai klasifikasi.
Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
Dengan putusan MK ini, dalam case Pilkada DKO Jakarta, PDIP yang memiliki 15 persen suara di DKI berpeluang mengajukan calon sendiri untuk melawan pasangan Ridwan Kamil – Suswono yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Apakah gara-gara ini kemudian Baleg DPR, yang mayoritas anggota KIM, mencoba untuk menganulir putusan MK?
Entahlah. “Tapi, kalau itu benar-benar terjadi, sungguh keterlaluan. DPR sama sekali tidak menghormati putusan MK. Padahal, MK adalah lembaga tertinggi untuk menyelesaikan perselisihan terkait peraturan perundang-undangan,” ujar Direktur Center for Economic and Democracy Studies (CEDES) Zaenul Ula kepada The Asian Post, Rabu (21/8).
Menurut Zaenul, jika DPR mengabaikan azas kepatuhan kepada aturan yang telah menjadi konsesus bersama, menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini. Sebab, produk peraturan dan hukum yang ada adalah produk lembaga legislasi, yakni DPR.
“Artinya, kalau mereka yang membuat aturan kemudian melanggarnya sendiri, kebejatan politik apalagi yang lebih parah dari ini,” tegas Zaenul.
Zaenul menekankan, jangan sampai karena hendak memuluskan rencana politik kelompok mereka, peraturan yang harusnya menjadi payung pelindung bersama, diakali dan disiasati.
Seharusnya, lanjut Zaenul, putusan MK yang memperluas kesempatan parpol untuk mengajukan calon kepala daerah layak diapresiasi. Sebab, putusan tersebut memberi ruang lebih luas bagi warga negara untuk menjadi pemimpin.
“Masyarakat juga semakin banyak diberi pilihan calon pemimpinnya. Jangan sampai semangat demokrasi yang baik ini dicederai oleh kepentingan kelompok yang menyesatkan itu,” tutupnya. DW