Sikon Extraordinary BI 7 DRR Turun ke Level 3,50%, Bank Masih Ambil Untung

Denpasar – Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) salah satu tugas utamanya adalah menjaga stablitas makroprudensial yang tidak lain merupakan seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sIstem keuangan. Dengan menjaga dan mengapresiasikannya melalui pengendalian inflasi yang juga menjadi tugas utama BI yang sekaligus untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, BI memiliki tiga pilar utama demi mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. (1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. (2) Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran dan (3) Menjaga stabilitas system keuangan.

Bila terjadi instabilitas system keuangan dimana terdapat tekanan terhadap inflasi dan volalilitas terhadap nilai tukar rupiah. Maka untuk mengendalikan kedua masalah tersebut dimunculkanlah penerapan kebijakan uang ketat (tight money policy). Sebagai bagian dari kebijakan makroprudensial  dengan mempergunakan  elemen politik diskonto. Dengan menaikkan suku bunga acuan BI 7 DRR (Bank Indonesia 7 Days Reverse Repo Rate) yang merupakan suku bunga  kebijakan yang mencerminkan sikap kebijakan moneter  yang ditetapkan oleh BI dan diumumkan kepada public. Sebagai salah satu faktor utama penetapan nilai BI 7 DRR adalah inflasi. Jika inflasi dan mata uang rupiah mendapat tekanan, maka BI akan menaikkan bunga acuan tersebut.  Demikian sebaliknya bila inflasi melandai dan rupiah menguat maka BI akan menurunkan bunga acuan. Dimaksudkan juga supaya perbankan ada ruang untuk menurunkan suku bunga pinjaman (kredit).

Dengan demikian secara langsung untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar di masyarakat agar sesuai dengan kebutuhan likuiditas perekonomian, dengan bunga pinjaman (kredit) yang semakin rendah  untuk mendorong perbankan mampu melaksanakan fungsi intermediasi dengan lebih signifikan. Dengan menurunkan suku bunga acuan yang didukung dengan quantitative easing (QE) policy bila kebijakan moneter yang standar tidak berfungsi dengan baik. Untuk tujuan tersebut BI telah berulangkali menurunkan suku bunga acuan BI 7 DRR dan terakhir pada minggu lalu BI 7 DRR diturunkan ke level 3.50 %. Sebagai upaya bersama untuk menurunkan suku bunga pinjaman (kredit) menjadi rendah agar dunia usaha bergairah memamfaatkan fasilitas kredit bank. Sekaligus  dalam upaya mendorong terserapnya kredit pembiayaan bagi dunia usaha demi mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan. Sejalan dengan upaya  dalam rangka  pemulihan ekonomi nasional yang berada dalam sikon extraordinary terjun kejurang resesi ekonomi dampak dari wabah covid – 19. Dengan telah berulangkali BI memangkas bunga acuan, maka BI menuntut para bankir perbankan nasional agar meresponnya supaya dengan segera memangkas bunga kredit (pinjaman) bank sebagaimana yang diharapkan dunia usaha yang lagi sangat membutuhkan dukungan perbankan.

Bila tidak keliru BI telah enam kali memangkas suku bunga acuan BI 7 DRR yang telah mencapai jumlah 150 basis point dan Perry Warjiyo Gubernur BI mengungkapkan suku bunga kredit perbankan hanya turun 83 basis poin sepanjang tahun 2020. Sangat disayangkan lambatnya respon perbankan terhadap kebijakan BI sepertinya dipandang sebelah mata oleh para bankir nasional, tidak diikuti dengan penurunan suku bunga pinjaman perbankan secara signifikan. Padahal dilain pihak bunga deposito dengan cepat diturunkannya terlebih dahulu yang sejak Juni 2020 sudah turun sebanyak 225 basis poin dan hampir sama dengan turunnya suku bunga acuan sebagaimana yang disampaikan oleh Juda Agung Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI. Sedangkan bunga pinjaman tidak segera secara bersamaan dilakukan penurunan bahkan ditahan keberadaannya dengan berbagai alasan antara lain dengan mengatakan masih melakukan kajian hitungan hitungan. Sepertinya menjadi sangat ironis para bankir masih melakukan kajian menghitung hitung keuntungan yang demikian lama dalam sikon  extraordinary.

Ibaratnya kapal sudah mau karam para awaknya masih mau rapat dulu. Padahal dilain  pihak perbankan sudah mempergunakan teknologi canggih dan memiliki komite tersendiri untuk itu. Sepertinya masih ada niatan dalam sikon extraordinary upaya untuk ambil untung dengan memamfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sangat wajarlah BI sesalkan sikap para bankir seperti itu, sepertinya mencerminkan prilaku yang tidak terpuji dan pembangkangan dari para bankir nasional dalam situasi extraordinary bersikap tidak melaksanakan  kebijakan moneter BI yang bertujuan mulia dan luhur demi kepentingan pemulihan ekonomi nasional yang sedang terpuruk. Menurut hemat kami sangat wajarlah pihak BI menyesalkan perilaku dan sikap para bankir nasional dalam sikon extraordinary masih saja cari untung sepertinya tidak punya sense of crisis.

Tindakan ambil untung para bankir dalam kondisi normal adalah merupakan hal yang lumrah dan wajar. Namun tindakan ambil untung dalam sikon extraordinary dimana para pelaku usaha dalam keadaan terpuruk hebat, megap megap dan sekarat utamanya para pelaku  UMKM yang perlu dibantu lebih baik, ikan sepat ikan gabus ikan lele, makin cepat makin bagus dan tidak bertele tele sebagaimana arahan Presiden Jokowidodo sikon extraordinary harus ditanggapi dengan kebijakan extraordinary juga dengan bertindak cepat dan tepat. Bila benar demikian adanya sikap para bankir sudah barang tentu para bankir sudah melupakan jasa jasa para nasabah pengusaha sebagai peminjam yang membesarkan mereka para bankir. Sepertinya sudah pasti sulit untuk diingkari semuanya berkat para pelaku usahalah yang telah membesarkan perbankan nasional. Dimana para pelaku usaha sudah bertahun tahun bekerja untuk bank dengan membayar kewajiban dengan baik dan lancar sehingga bank bank bertumbuh sehat kuat dan besar. Disaat sikon extraordinary para pelaku usaha memerlukan pertolongan dan bantuan berupa tingkat suku bunga yang serendah rendahnya, injeksi kredit dan restrukturisasi pinjaman yang memadai sampai kondisi dianggap normal.

Semestinya para bankir mampu dalam sikon extraordinary menerapkan norma norma social yang dipandang sebagai hukum tak tertulis, salah satunya adalah norm of reciprocation atau norma timbal balik dan juga bisa menerapkan kearifan lokal  dengan prinsip pang pade payu yaitu suatu norma social bisnis saling memberdayakan dan saling menguntungkan. Sebagaimana juga telah pernah disampaikan agar para bankir memahami hakekat filosofi Tionghoa belajarlah hidup Chin Chai gemar berbagi sesuai normal social yang berlaku positif dan kondusif saling memberdayakan dan saling menguntungkan (prinsip pang pade payu) yang bisa menjadi kunci hidup sukses dan bahagia. Ingatlah selalu bahwa bank tidak bisa hidup tanpa adanya nasabah peminjam  tapi jangan lupa pula bisa saja para nasabah pengusaha tidak butuh pinjaman (kredit) bank dengan melakukan go publik. Jangan sampai para bankir terkesan bagaikan kacang lupa  akan kulitnya yang tentu juga bisa menimbulkan hukum karma pala atau hukum tabur tuai yang dikhawatirkan akan bisa berdampak buruk dan menjadi vatal bagi kelangsungan dan keberadaan  perbankan nasional. Dengan dampak lanjutannya bisa terancamnya stabilitas system keuangan yang sudah pasti akan bisa mengganggu kinerja perekonomian nasional akan semakin terpuruk sulit untuk melakukan pemulihan dan bangkit secepatnya. Tentu sikon seperti ini tidak dikehendaki akan terjadi oleh para pihak yang berkepentingan.

Bila seandainya benar demikian adanya patut dipertanyakan rasa nasionalisme, maupun etika moral para bankir yang diyakini bertentangan dengan etika bankir maupun tidak sejalan dengan fungsi utamanya sebagai agent of intermediary, demikian juga tidak sejalan dengan fungsi khususnya sebagai agent of trust, agent of development, agent of serve dan agent of progress. Diperoleh informasi ada kecenderungan lebih responsip melakukan penurunan bunga deposito dimana suku bunga deposito satu bulan di bulan Desember 2020 turun 181 bps  ke level 4,27%. Apalagi BI telah menurunkan bunga acuan BI 7 DRR ke level 3,50% diyakini perbankan akan lebih progresif lagi menurunkan suku bunga deposito. Namun semestinya para bankir juga beritikad baik bisa menurunkan secara progresif suku bunga kredit (pinjaman) maka tidaklah mengherankan BI menyoroti dan  menuding para bankir mencoba mengeruk keuntungan pada situasi extraordinary akibat dampak pandemic. Adanya kecenderungan para bankir yang lambat merespon dalam melakukan penurunan suku bunga kredit ditengah pemangkasan suku bunga acuan BI 7 DRR apalagi sudah diturunkan lagi dari level 3,75% menjadi 3,50%.

Dengan masih dirasakan masih tingginya oleh para pelaku usaha suku bunga kredit bank disaat sikon extraordinary. Sudah barang tentu para pengusaha menunda dulu untuk meminta bantuan kredit ke bank,  apalagi dalam situasi dunia usaha yang sangat parah seperti sekarang ini dan bisa saja ada kemungkinan para pengusaha  karena tidak ada dukungan dari perbankan membiarkan usaha nya tidak berjalan atau ditutupnya. Bila hal seperti ini terjadi maka semua pihak juga akan rugi karena berdampak tidak kondusif fungsi intermediasi perbankan yang tidak mampu menyalurkan kredit, otomatis akan mendorong terjadinya pembengkakan dan peningkatan  kredit bermasalah yang lebih populer disebut Non Performing Loan (NPL). Berpengaruh negative terhadap tingkat kesehatan bank itu sendiri yang bisa menganggu stabilitas system keuangan yang pada akhirnya perekonomian terganggu tidak bisa bangkit dengan lebih cepat dari keterpurukan dan kelesuan ekonomi nasional yang terjun kedalam jurang resesi.

Mengingat kebijakan moneter BI dengan QE nya didukung oleh politik cash ratio dan politik diskontonya tidak mempan dan lambat ditanggapi oleh para bankir yang mengelola perbankan nasional sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak berkepentingan menurut hemat kami sebaiknya  Gubernur BI Perry Warjiyo mengikuti langkah bank sentral di Negara Negara maju antara lain seperti Jepang yang telah meninggalkan rezim suku bunga positif menjadi rezim suku bunga negative untuk memperbaiki perekonomian bisa keluar dari kelesuan yang berkepanjangan.  Mengingat BI dalam sikon extraordionasi telah berkali kali menurunkan suku bunga acuan BI 7 DRR sehingga saat ini sudah berada di level yang paling rendah sebesar 3,50% terendah sepanjang sejarah bunga acuan. Namun suku bunga kredit (pinjaman) perbankan cenderung masih tinggi tidak/atau belum sesuai dengan harapan para pihak yang berkepentingan sehingga berpengaruh tidak kondusif terhadap fungsi intermediasi perbankan. Bahkan ada berita bahwa  BI tuding bank coba keruk untung lebih ditengah pandemic (dikutip dari CNN Indonesia). Quo Vadis Perbankan Nasional.

 

Ida Bagus Kade Perdana, Ketua Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI) Bali Nusra, WKU. Kadinda Prov. Bali. Mantan Dirut Bank Sinar Jreeeng Mantaaap (sekarang PT. Bank Mandiri Taspen).

 

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.