Oleh: Karnoto Mohamad, Pemimpin Redaksi The Asian Post
Alkisah, di akhirat sedang ada antrean panjang orang-orang yang sudah meninggal. Mereka menanti giliran diperiksa oleh Tuhan.
Giliran Soleh tiba. Dia optimis masuk surga. Waktu hidup di dunia, Soleh adalah seorang pejabat tinggi yang uangnya melimpah, sudah naik haji berkali kali, dan rajin ibadah umroh dua kali setahun.
Soleh pun menghadap Tuhan dengan tersenyum. Ketika ditanya apa saja yang dilakukannya selama hidup, jawabannya sangat lancar.
“Menyembah Tuhan dan menyebut nama-Nya, membaca kitab suci, rajin menjalankan rukun agama, sudah naik haji tiga kali, dan beribadah umroh dua kali setahun,” jelasnya.
Ketika ditanya lagi apa saja yang dilakukannya selain itu, Soleh mulai bingung. Tak ada lagi yang bisa dikatakan. Jatuhlah vonis Tuhan. Soleh pun masuk neraka. Dia heran dan makin heran ketika teman-temannya yang lebih saleh dari dirinya pun bernasib sama.
Kasak kusuk di antara mereka pun muncul. Mereka tidak puas, menilai standar penghakiman Tuhan tidak jelas. Mereka pun memberanikan diri menghadap Tuhan untuk minta penjelasan. “Di mana kalian tinggal?” tanya Tuhan. Soleh menjawab cepat, “Indonesia.”
Tuhan pun berkata, “Negeri yang tanahnya subur, sampai tanaman tumbuh tanpa ditanam? Negeri yang tambangnya kaya raya itu? Penegak hukumnya mudah disuap? Para pejabatnya doyan korupsi dan jualan izin tambang sehingga kekayaan alam kalian dikeruk orang lain?”
Soleh dan teman-teman sebangsanya menjawab tegas, “Benar, Tuhan. Kami tidak peduli dengan hal itu semua. Yang penting, kami hidup enak, banyak uang, rajin menyembah dan memuji-Mu.”
“Kenapa kalian membiarkan rakyat kalian hidup melarat dan banyak yang tidak bisa membayar utang?,” tanya Tuhan. “Tidak apa-apa Tuhan, asal kami taat beragama,” jawab Soleh. “Meski ajaran agama itu tidak masuk di hati,?” tanya Tuhan. “Masuk di hati, Tuhan,” balas Soleh.
Tuhan pun bertanya panjang lebar, “Kalau masuk di hati, mengapa kalian para pejabat terus melakukan korupsi? Aku beri kalian negeri yang kaya, namun mengapa kalian para pejabat saja yang hidupnya Makmur sementara rakyat kecil dibiarkan hidup melarat dan sulit mencari pekerjaan. Kalian lebih suka beribadat, apakah kalian kira Aku mabuk pujian atau suka disembah?”
Semua terdiam. Masih penasaran, Saleh bertanya, “Apakah salah menyembah-Mu, Tuhan?”
“Tidak salah. Tetapi, kesalahan terbesar adalah terlalu mementingkan diri. Kau taat sembahyang karena takut masuk neraka. Tapi kalian sebagai pemimpin melupakan rakyat dan kaummu sehingga mereka tetap melarat,” kata Tuhan.
Anekdot di atas disadari atau tidak, menggambarkan tentang Indonesia. Negara religius dengan jumlah lebih dari 300 ribu masjid, 77 ribu gereja, 15 ribu pura, 2.440 wihara.
Boleh jadi, karena begitu banyak pemahaman ala Soleh, sehingga kendati sebagai negara religius dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia terus diwarnai kemiskinan, korupsi, dan jual beli hukum.
Budaya korupsinya berkembang masif. Transparansi Internasional mencatat indeks korupsi Indonesia pada 2023 sebesar 3,92 merosot menjadi 3,85 pada 2024. Bahkan, presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, masuk dalam nominasi pemimpin negara terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) bersama lima finalis lainnya.
Soleh dalam cerita di awal adalah contoh orang yang memahami agama tak lebih dari ritual semata tanpa mau memaknai esensi dari ajaran agama itu sendiri. Jangan korupsi dan mencuri milik orang lain, berkata yang menyakiti orang lain saja tidak boleh. Seperti kata sebuah hadist ini. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.
Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, “Ia di neraka.” Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.
Agama mengajarkan kejujuran, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Kesalehan sosial seharusnya menjadi dari sederet sederet ritual keagaman seperti puasa, shalat, baca Al-quran, pergi kebaktian, misa, upacara di pura.
Karena tidak memahami esensi ajaran agama, maka orang yang rajin menjalani ritual keagamaan tapi tetap mau melakukan perbuatan tak terpuji seperti korupsi, mementingkan diri sendiri, mengabaikan kemiskinan di lingkungannya, hingga merusak alam.
Di bulan ramadhan ini, memaknai puasa pun menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa kemampuan menemukan makna, makan di waktu sahur, tidak makan, minum dan berhubungan seks di siang hari, lalu makan ketika bedug magrib datang, itu semua hanya lah menjadi sesuatu yang teknis, ritual, dan administratif.
Padahal, meniadakan diri dan menenggelamkan diri pada Yang Maha Ada adalah hakikat puasa. Di sini, kita mengendalikan semua alat inderanya –yang lahir dan batin- dari melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki Tuhan.
Kita bukan saja mengendalikan mulut dari menyebarkan gosip, intrik, makian, dan ancaman; tetapi juga mengendalikan daya khayal pikiran dari rencana-rencana jahat atau niat-niat buruk yang merugikan orang lain.
Esensi beribadah adalah pengendalian diri.
Sebagai sarana pengendalian diri, puasa pun bisa menjauhkan orang dari godaan perbuatan tak terpuji, menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kepedulian sosial. Melaksanakan ibadah juga hendaknya bukan sebagai ritual semata. Tapi bagaimana meniadakan diri dan menenggelamkan diri pada Yang Maha Ada.
Meniadakan diri dari keinginan, amarah, keserakahan, dan iri dengki. Bukan beribadah karena takut ancaman dosa. Sebab, seperti kata Mahatma Gandhi, satu-satunya dosa adalah kelemahan yang menghidupkan kembali kejahatan. (*)