Perbankan RI Kuat, Kejatuhan Silicon Valley Bank Tak Akan Berdampak

Jakarta — Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pagi ini dibuka memerah. Sektor finansial (perbankan dan keuangan) menjadi kontributor terbesar penurunan IHSG hingga 100 poin atau 1,5%.

Menurut pantauan Infobank Institute, saham bank-bank dengan market cap terbesar di BEI mengalami penurunan dalam. Bank BCA (BBCA), misalnya, turun 1,75% atau terkoreksi 150 poin menjadi Rp8.400,-. Bank Mandiri (BMRI) turun 2,9% atau terkoreksi 300 poin menjadi Rp10.050,-.

Dua bank papan atas lainnya, yakni Bank BRI (BBRI) dan Bank BNI (BBNI), pun ikutan ambles. BBRI turun 2,07% atau terkoreksi 100 poin menjadi Rp4.730,-. Sementara, BBNI turun 2,50% atau terkoreksi 225 poin menjadi Rp8.775,-.

Apakah penurunan saham-saham perbankan Indonesia akibat pengaruh kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB), Jumat (10/3) pekan lalu?

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penutupan SVB oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Amerika Serikat pada 10 Maret lalu tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang memiliki kondisi yang kuat dan stabil.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line, maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.

Selain itu, kata dia, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto.

“Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat,” kata Dian dalam rilis yang diterima redaksi.

Menurutnya, Indonesia setelah krisis keuangan tahun 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum, dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien, dan stabil.

Hal ini, kata dia, tercermin dari kinerja industri perbankan yang terjaga baik dan solid serta tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung.

Pada saat ini, lanjut dia, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik antara lain AL/NCD dan AL/DPK di atas threshold, yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

Aset perbankan, kata dia, juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Demikian juga untuk kinerja lainnya seperti risiko kredit, risiko pasar, permodalan dan profitabilitas, kata dia, masih terjaga dan tumbuh positif. Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori “Bank Dalam Resolusi”, yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.

“OJK terus melakukan berbagai langkah kebijakan kolaboratif dan sinergi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, baik secara langsung maupun melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka mengantisipasi dampak dan tekanan global yang mungkin terjadi,” paparnya.

OJK, lanjut dia, memastikan akan terus meningkatkan pemantauan terhadap berbagai perkembangan yang terjadi secara global dan implikasinya terhadap perbankan Indonesia, memastikan penerapan manajemen risiko dan tata kelola bank yang baik dalam setiap aktivitas pengelolaan portofolio aset produktif dan pendanaan serta memitigasi risiko konsentrasi yang berdampak terhadap kinerja keuangan bank.

“Selain itu, OJK juga meminta perbankan untuk senantiasa melakukan langkah-langkah strategis antara lain meningkatkan fungsi maupun peran asset & liability committee dalam melakukan pengelolaan aset dan kewajiban, mengevaluasi kecukupan pencadangan risiko, melakukan stress test yang komprehensif serta mengkaji dan mengkinikan recovery dan resolution plan secara berkala,” tuturnya.

Kebijakan OJK ke depan, menurut dia, akan terus diarahkan untuk menciptakan situasi kondisi yang semakin kondusif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. DW

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.