Pascaresesi Sumut Catat Surplus Neraca Perdagangan

Medan — Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara (Sumut) yang sempat terjebak dalam resesi ternyata tidak dibarengi dengan ekspor daerah ini. Padahal, trennya mengalami kenaikan.

Secara nominal (nilai Freight on Board/FOB dalam US Dolar) kinerja ekspor Sumut dalam lima tahun terakhir cenderung naik. Meskipun secara kuantitas (dalam satuan ton) berfluktuasi ringan.

Berbeda dengan impor Sumut, baik dalam satuan nominal (Cost, Insurance, Freight/CIF dalam US Dolar) maupun dalam satuan ton, yang justru mengalami penurunan

Penurunan 44 kinerja impor terjadi sejak tahun 2019. Namun, pada 2021 trennya kembali mengalami peningkatan. Hal ini membuat Sumut mampu mencatatkan surplus neraca perdagangan.

Sawit, karet, dan sejumlah komoditas Sumut berikut produk olahannya masih menjadi salah satu penggerak industri di Sumut yang menyumbang lebih dari 95% ekspor provinsi ini.

Sumut belakangan ini juga sangat diuntungkan dengan membaiknya kinerja harga CPO (crude palm oil) yang memicu kenaikan penjualan atau ekspor ke negara lain.

Menurut pengamat ekonomi dari UIN Sumut, Gunawan Benjamin, ekspor jelas menunjukan perbaikan dan menjadi kabar baik bagi Sumut. Namun, jika ekspor Sumut dalam tiga tahun tetap berkinerja baik.

“Tapi mengapa kinerja ekonomi Sumut justru sempat terpapar resesi selama pandemi Covid-19? Dari hasil pengamatan saya, impor yang turun justru lebih menggambarkan bagaimana ekonomi Sumut berputar,” katanya saat berbincang dengan The Asian Post di Medan, Jumat, 19 November 2021.

Dia menyebutkan, dalam paparan BPS Sumut, kontribusi impor bahan baku/penolong memberikan peran di atas 80%. Artinya, provinsi ini membutuhkan sejumlah bahan baku untuk memutar roda perekonomiannya.

Sementara, penurunan impor daerah ini juga tercermin dari kinerja pertumbuhan ekonomi Sumut yang meskipun tetap tumbuh namun sempat melambat, bahkan sempat resesi sebelumnya.

Benjamin menyimpulkan, impor Sumut memiliki peran besar dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah ini. Soalnya bahan baku/penolong menjadi indikator bagaimana aktivitas bisnis maupun manufaktur di wilayah ini.

“Semakin besar impor bahan baku/penolong , maka sejatinya kita bisa berharap bahwa geliat ekonomi di Sumut semakin baik. Meski demikian kita tidak lantas seharusnya bergantung dengan impor,” ujar Benjamin.

Menurut dia, perlu upaya untuk memangkas ketergantungan impor tersebut. Bahkan, yang menjadi catatan penting adalah, jika Sumut ingin memacu kesejahteraan serta neraca dagang tetap di surplus.

Itu sebabnya ekspor harus terus digenjot, impor bahan baku harus dikurangi, namun persiapkan bahan baku dari wilayah ini secara mandiri, sehingga ekonomi yang berputar menghasilkan output maksimal.

“Output ini bisa berupa penyerapan tenaga kerja, pemulihan pendapatan masyarakat maupun daya beli yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat,” kata Benjamin seraya menambahkan ekspor yang dihasilkan dari output industri di wilayah ini seharusnya bisa di diversifikasi.

“Artinya, jangan itu-itu saja. Seperti yang paling dominan adalah minyak nabati atau karet dan olahan karet. Ada produk turunan yang lainnya perlu terus dikembangkan,” ujarnya.

Diakuinya, memang tidak mudah, tetapi secara konseptual begitulah cara mempertahankan neraca perdagangan Sumut yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nantinya. (*)

Kontributor: Bachtiar Adamy (Medan)
Editor: Darto Wiryosukarto

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.