Nikel: Antara Harta Karun di Timur Indonesia dan Ironi
Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung
Indonesia menyimpan cadangan nikel terbesar di dunia, dengan estimasi sekitar 72 juta ton logam nikel yang tersebar luas di tanah Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Kawasan timur Indonesia kini menjadi pusat dari aktivitas pertambangan nikel, dan menjelma sebagai ladang baru “emas hijau” di tengah dorongan global menuju energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Nilai ekonominya tidak main-main. Bila dikonversikan ke nilai pasar, cadangan nikel Indonesia bisa mencapai lebih dari USD2.160 miliar atau sekitar Rp32.400 triliun.
Namun ironisnya, nilai fantastis ini belum sepenuhnya dinikmati oleh rakyat Indonesia, karena struktur industri nikel kita masih didominasi oleh ekspor hasil olahan mayoritas dengan tingkat kandungan logam Nikel sekitar 12%, kecuali yang diproduksi Antam sekitar 22% dan Vale sekitar 70%. Sedangkan hilirisasi penuh justru terjadi di luar negeri.
Rantai nilai Nikel banyak tapi belum bernilai
Proses ekstraksi nikel di Indonesia dimulai dari pengambilan bijih dengan kadar Ni sekitar 1,7–2,2%. Bijih ini diangkut dari daerah-daerah sekitar Sulawesi Tenggara, pulau-pulau kecil dan besar di timur Indonesia, termasuk seperti Halmahera, Weda, dan bahkan sekarang dari pulau kawasan Raja Ampat.
Setelah ditambang, bijih ini sebagian besar langsung diolah menjadi Nickel Pig Iron (NPI) dengan kadar nikel sekitar 12%, yang banyak dikelola oleh perusahaan-perusahaan asal Tiongkok di Morowali.
Selanjutnya, ada olahan dalam bentuk Ferronickel (FeNi) dengan kandungan nikel sekitar 22%, diproduksi oleh PT Antam di Pomala dan Maluku. Tahap lebih tinggi adalah nikel matte (70% ke atas), diproduksi oleh PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan.
Namun hingga kini, tahap akhir berupa nikel metal murni (100%), yang nilainya tertinggi, masih sepenuhnya dilakukan di luar negeri.
Negara pemasok, bukan pemilik nilai
Kondisi ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih menjadi negara pemasok bahan baku, bukan pemilik nilai tambah. Dalam konteks ekonomi global, posisi seperti ini menempatkan Indonesia dalam struktur ketergantungan, di mana nilai tertinggi dari sumber daya yang dimiliki justru dinikmati oleh negara lain.
Negara-negara penghasil bahan mentah cenderung mendapat nilai ekonomi lebih kecil dalam rantai pasok global.
Kebijakan hilirisasi yang didorong pemerintah dalam satu dekade terakhir memang mulai mengubah arah. Namun, sebagian besar hilirisasi masih berhenti di tahap menengah dan dikendalikan oleh investasi asing.
Sekitar 90% investasi smelter di Indonesia berasal dari Tiongkok, sehingga kontrol atas teknologi dan pasar ekspor pun berada di luar tangan pemerintah Indonesia.
Masalah tata kelola dan korupsi
Selain lemahnya hilirisasi, persoalan besar lain yang membelit industri nikel Indonesia adalah tata kelola yang buruk dan maraknya korupsi. Pemberian izin tambang sering kali tidak transparan dan berlapis. Banyak izin yang diberikan secara politis menjelang pemilu atau diberikan kepada perusahaan cangkang yang tidak memiliki kompetensi teknis.
Kasus-kasus korupsi di sektor nikel terus mencuat. Ini dapat terjadi pada suap dalam pengurusan izin tambang yang menyeret pejabat publik dan pengusaha besar. Sektor pertambangan adalah salah satu yang paling rawan korupsi karena tingginya potensi rente dan minimnya pengawasan.
Dampak sosial dan lingkungan
Di balik kemilau nikel, terdapat dampak sosial dan ekologis yang tak bisa diabaikan. Aktivitas pertambangan nikel menyebabkan deforestasi, pencemaran air dan udara, serta rusaknya ekosistem pesisir. Masyarakat lokal, terutama komunitas adat dan petani, kehilangan akses terhadap tanah, sumber air bersih, dan ruang hidup yang layak.
Pertambangan nikel tentu menyebabkan degradasi lingkungan. Perbaikan lingkungan tambang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Dimana, limbah tailing jangan lagi dibuang ke laut atau perairan darat. Ini bisa menjadikan ekonomi tambang malah membawa kerugian pada lingkungan.
Investasi Asing dan Relasi Kuasa
Sebagian besar investasi di sektor nikel Indonesia dikendalikan oleh perusahaan asing, terutama dari Tiongkok. Dalam proyek-proyek smelter di Morowali dan Weda Bay, struktur kepemilikan dan penguasaan modal didominasi oleh entitas luar negeri. Perusahaan lokal hanya memegang sebagian kecil saham, sedangkan pengambilan keputusan strategis ada di luar negeri.
Masalahnya, ketergantungan pada modal asing ini menciptakan relasi kuasa yang timpang. Pemerintah daerah dan pusat sering kali tidak memiliki cukup daya tawar untuk menegosiasikan manfaat yang adil bagi Indonesia. Bahkan dalam beberapa kasus, perusahaan asing membawa serta ribuan tenaga kerja asing, sehingga manfaat langsung kepada masyarakat lokal pun semakin terbatas.
Ketimpangan dalam distribusi manfaat
Struktur industri nikel yang eksploitatif menciptakan ketimpangan besar dalam distribusi manfaat. Para pemilik konsesi dan investor mendapat keuntungan besar, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton atau buruh murah.
Di banyak wilayah tambang, pemerintah daerah kesulitan menarik pajak dan retribusi karena celah hukum dan manipulasi laporan produksi.
Praktik penghindaran pajak dan manipulasi ekspor di sektor tambang menyebabkan potensi kerugian negara dalam jumlah yang besar. Situasi ini menciptakan “kutukan sumber daya alam”, di mana kekayaan alam tidak berbanding lurus dengan kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Menata ulang arah hilirisasi
Hilirisasi harus dimaknai lebih dari sekadar pembangunan smelter. Pemerintah perlu mendorong agar proses pengolahan nikel mencapai tahap akhir di dalam negeri, termasuk produksi baterai kendaraan listrik dan produk turunan lainnya. Ini akan menciptakan nilai tambah jauh lebih besar dan memperluas lapangan kerja domestik.
Langkah awal bisa dilakukan dengan menata ulang insentif investasi, memperkuat BUMN sektor nikel, dan membangun ekosistem industri berbasis riset dan teknologi dalam negeri.
Indonesia memiliki peluang menjadi pemain utama dalam rantai pasok kendaraan listrik global jika mampu mengintegrasikan industri nikel dengan industri energi bersih.
Perlu reformasi tata kelola
Reformasi tata kelola adalah syarat mutlak. Pemerintah perlu menerapkan sistem transparansi berbasis digital untuk izin tambang, kontrak, dan produksi. Partisipasi publik juga harus diperkuat, termasuk pelibatan masyarakat adat dan sipil dalam pengawasan kegiatan tambang.
Penguatan peran institusi pengawas seperti KPK, BPK, dan aparat penegak hukum harus menjadi prioritas, dengan dukungan dari kebijakan yang berani. UU Minerba harus direvisi untuk menutup celah-celah rente dan memperjelas sanksi atas pelanggaran lingkungan serta korupsi dalam sektor pertambangan.
Keadilan bagi generasi mendatang
Nikel bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal keadilan antargenerasi. Kekayaan alam ini harus dikelola secara berkelanjutan agar manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh elit sekarang, tetapi juga generasi mendatang. Eksploitasi besar-besaran tanpa perencanaan ekologis hanya akan meninggalkan tanah yang gersang dan konflik sosial yang akut.
Indonesia memiliki pilihan: menjadi pemasok bahan mentah yang tersandera atau menjadi negara industri yang berdaulat. Jalan menuju kedaulatan itu memang tidak mudah, tetapi bukan mustahil. Ia menuntut keberanian politik, visi jangka panjang, dan solidaritas nasional.