Negeri Serba Palsu: Ketika Kepalsuan Menjadi Budaya dan Sistem
Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung
Janji Palsu Para Pemimpin, Retorika Tanpa Realisasi
Pemimpin di negeri ini lihai merangkai kata-kata indah penuh harapan, namun kosong isi. Janji ditebar saat kampanye, mulai dari pembangunan infrastruktur, kesejahteraan rakyat, hingga reformasi birokrasi.
Namun setelah terpilih, sebagian besar janji hanya tinggal arsip di media sosial. Rakyat pun berkali-kali menjadi korban harapan palsu.
Dalam teori performatif Austin, ucapan seharusnya disertai dengan tindakan (speech act theory), namun yang terjadi di sini justru sebaliknya: retorika menjadi alat tipu yang sistematis.
Janji palsu bukan sekadar etika yang dilanggar, tetapi penghianatan terhadap kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin.
Diri Palsu: Memoles Citra, Menyembunyikan Karakter
Di era digital, banyak pemimpin lebih sibuk memoles citra daripada membentuk karakter. Konsultan branding, tim media sosial, dan pencitraan visual digunakan untuk membentuk sosok ideal yang sering kali tidak mencerminkan jati diri aslinya.
Ini bukan lagi representasi diri, tapi fabrikasi citra. Dalam pemikiran Erving Goffman, setiap individu memainkan “peran” di panggung sosial. Namun, ketika peran tersebut sepenuhnya palsu dan disengaja menipu publik, maka yang terjadi adalah manipulasi sosial.
Pemimpin bukan lagi pelayan rakyat, tapi aktor dalam panggung kekuasaan, sibuk menjaga pencitraan ketimbang memperjuangkan kebenaran
Ijazah Palsu Para Pemimpi Kekuasaan
Di negeri ini, mimpi menjadi pemimpin tak lagi digantungkan pada integritas, kerja keras, dan kapasitas, melainkan pada selembar kertas yang entah dari mana asal-usulnya.
Ijazah palsu menjamur seperti virus yang menular dari satu elite ke elite lain, bahkan menjalar hingga ke lembaga legislatif dan eksekutif.
Banyak yang lebih mementingkan pencitraan intelektual daripada menjadi intelektual sejati. Fenomena ini menggambarkan terjadinya dekadensi moral dan lemahnya sistem verifikasi pendidikan.
Max Weber pernah menekankan pentingnya etika dalam kepemimpinan birokratis. Namun di sini, yang terjadi justru sebaliknya. Birokrasi disusupi oleh para pemimpi instan yang bersembunyi di balik ijazah palsu.
Capaian Palsu dan Data yang Dipoles Demi Legitimasi
Dalam laporan resmi, grafik selalu naik, indeks selalu membaik, dan angka kemiskinan disebut terus menurun. Namun realitas di lapangan sering kali berkata lain: harga bahan pokok naik, pengangguran tersembunyi meningkat, dan akses terhadap layanan publik masih timpang.
Kerap kali data disulap, data dipilih pilih sebagai angka-angka yang menguntungkan, dan statistik yang tak sedap dipandang disingkirkan. Ini adalah bentuk “data washing”, memoles capaian dengan narasi keberhasilan yang tidak sepenuhnya benar.
Menurut James C. Scott dalam Seeing Like a State, negara modern sering menyederhanakan realitas sosial menjadi angka-angka untuk dikontrol, tetapi ketika angka itu dimanipulasi demi legitimasi, maka yang terjadi bukan lagi pengukuran kinerja, melainkan ilusi keberhasilan.
Kepalsuan ini memperdalam jurang antara kenyataan dan narasi, membuat rakyat semakin asing terhadap negara yang seharusnya melindungi mereka.
Demokrasi Palsu dan Sandiwara Elektoral
Demokrasi di negeri ini tampak seperti pertunjukan teatrikal yang megah di permukaan, tapi kosong di dalam.
Pemilu menjadi ajang transaksi, bukan pesta ide. Partai politik berubah menjadi “korporasi kekuasaan” yang lebih sibuk menghitung untung-rugi daripada membangun gagasan.
Pemilih disuguhi janji manis yang basi, sementara kandidat berlomba-lomba memainkan pencitraan alih-alih substansi. Demokrasi substantif yang pernah digagas oleh Robert A. Dahl menjadi hampa makna. Yang tersisa hanyalah demokrasi prosedural yang dipenuhi kepalsuan.
Ketika Hukum Dipalsukan demi Kekuasaan
Hukum, yang seharusnya menjadi panglima tertinggi dalam sebuah negara hukum, justru menjadi alat legitimasi bagi penguasa dan pemodal.
Proses hukum dapat direkayasa, keputusan pengadilan bisa dibeli, dan keadilan kerap kali ditunda demi kepentingan politik.
Antonio Gramsci menyebut kondisi ini sebagai “hegemoni” di mana hukum diperalat untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu. Kepalsuan hukum melahirkan ketidakpercayaan publik, dan perlahan-lahan meruntuhkan fondasi keadilan.
Uang Palsu, Simbol Ekonomi yang Rapuh
Uang palsu adalah refleksi dari sistem ekonomi yang pincang. Ketika distribusi kekayaan tidak merata, dan peluang ekonomi semakin sempit, sebagian masyarakat tergoda menciptakan nilai secara instan.
Peredaran uang palsu tidak hanya merugikan individu, tetapi juga melemahkan kepercayaan terhadap sistem keuangan nasional. Ini adalah wujud ekonomi semu yang tidak berakar pada produktivitas riil, melainkan pada spekulasi dan manipulasi.
Gelar Akademik yang Dipalsukan demi Gengsi
Kepalsuan tak berhenti di ranah politik dan hukum. Dunia akademik pun tercemar oleh keinginan semu untuk diakui.
Gelar profesor, doktor, bahkan master, diraih melalui jalan pintas: beli skripsi, sewa penulis disertasi, dan manipulasi nilai. Ini adalah pengkhianatan terhadap dunia ilmu pengetahuan yang semestinya menjunjung kebenaran.
Teori meritokrasi yang dikembangkan oleh Michael Young menjadi terbalik: gelar tak lagi mencerminkan kompetensi, melainkan simbol status sosial yang bisa dibeli.
Bahan Bakar Palsu dan Bahaya yang Mengintai
Bahan bakar palsu dengan campuran berbahaya dijual demi keuntungan instan. Ini bukan hanya soal ekonomi bawah tanah, tetapi juga membahayakan keselamatan publik dan lingkungan.
Fenomena ini menunjukkan lemahnya pengawasan negara serta kuatnya jaringan ekonomi gelap yang menodai sektor energi nasional.
Kepalsuan bahan bakar adalah simbol dari energi moral yang ikut tercemar.
Produk Palsu dan Konsumen yang Tertipu
Pasar dibanjiri produk palsu, dari obat, makanan, kosmetik, hingga onderdil kendaraan. Negara ini telah menjadi surga barang tiruan yang tak hanya merugikan produsen asli, tetapi juga mengancam keselamatan konsumen.
Kepalsuan produk ini menunjukkan bahwa etika bisnis telah digantikan oleh logika untung cepat. Konsumen menjadi korban dalam ekosistem dagang yang dikuasai oleh para pelaku ekonomi oportunis.
Kepalsuan Sosial di Era Digital
Media sosial menjadi panggung utama bagi kepalsuan gaya hidup. Filter, rekayasa citra, dan budaya pamer menciptakan ilusi kehidupan sempurna. Identitas digital tidak lagi mencerminkan realita, melainkan konstruksi citra yang dikurasi demi validasi.
Dalam perspektif Baudrillard, ini adalah bentuk simulacra, di mana representasi palsu menggantikan kenyataan dan menjadi kenyataan itu sendiri. Kita hidup dalam era hiperrealitas, di mana kepalsuan terasa lebih nyata daripada kebenaran itu sendiri.
Spirit Kepalsuan dalam Budaya Politik dan Ekonomi
Budaya basa-basi, etika pura-pura, serta retorika tanpa aksi merajalela dalam tatanan pemerintahan dan institusi ekonomi. Kepemimpinan menjadi panggung “acting” bukan tindakan. Janji revolusi mental menjadi slogan kosong.
Ini adalah bentuk pseudo-transformasi, di mana perubahan hanya terjadi di permukaan tapi stagnan di dalam. Paolo Freire menyebut ini sebagai bentuk dehumanisasi, di mana manusia dikendalikan oleh sistem yang palsu dan menjauh dari kodratnya sebagai makhluk merdeka.
Menuju Negara yang Otentik dan Tanggung Jawab Kolektif
Membongkar semua kepalsuan ini bukan tugas satu orang, satu lembaga, atau satu masa jabatan. Ini adalah tanggung jawab kolektif yang harus dimulai dari keberanian untuk jujur dan tegas menolak jalan pintas.
Pendidikan harus menjadi ruang kesadaran kritis, bukan sekadar mesin produksi gelar. Hukum harus ditegakkan dengan integritas.
Politik harus dibangun di atas gagasan, bukan kepura-puraan. Ekonomi harus bertumpu pada produktivitas, bukan manipulasi.
(Ditulis di Bandung, 12 April 2025)