Oleh Karnoto Mohamad, Editor in Chief The Asian Post
EKONOMI Indonesia masuk ke jalur lambat. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal satu yang hanya 4,87% (yoy). Dibanding kuartal keempat 2024, terjadi kontraksi 0,98%.
Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menghantam. Jumlah PHK terus membumbung dari 25.114 orang pada 2022, 64.855 orang pada 2023, dan 77.965 orang pada 2024. Dewan Pengawas Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan memprediksi jumlah PHK pada 2025 bisa mencapai 280.000 orang.
Kementerian Tenaga Kerja mencatat korban PHK Januari-April 2025 mencapai 24.036 orang. Sektor usaha paling banyak memangkas pegawai adalah manufaktur sebanyak 16.801 orang diikuti perdagangan besar dan eceran sebesar 3.622 orang.
Alarm lesunya ekonomi terlihat dari turunnya realisasi pendapatan pajak sebesar 10,8% selama empat bulan pertama 2025. Pemerintah seperti nafsunya besar tapi tenaga kurang.
Optimis akan mencetak pertumbuhan ekonomi sebesar 5%, tapi pemerintah pelit belanja. Belanja pemerintah turun 5,1%. Di tengah tekanan fiskal dan pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp800,3 triliun plus bunga Rp552,9 triliun tahun ini, Presiden Prabowo Subianto terus ngotot menjalankan program makan bergizi gratis dengan anggaran naik dari semula Rp71 trilin menjadi Rp171 triliun tahun ini.
Sementara, Rupiah yang terkapar jelas merugikan sejumlah sektor usaha yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi seperti manufaktur dan perdagangan. Kedua sektor ini memberi kontribusi sebesar 32,50% terhadap produk domestik bruto (PDB). Industri otomotif paling merasakan imbasnya.
Penurunan penjualan kendaraan roda empat yang terjadi sejak 2023 bisa berlanjut tahun ini. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan wholesales kendaraa roda empat pada empat bulan pertama 2025 hanya 256.368, menyusut 2,9% dibandingkan periode yang sama 2024 sebesar 264.014. Sepanjang 2024, penjualan kendaraan roda empat anjlok 13,9% menjadi 865.723 unit.
Industri pembiayaan (multifinance) terkena dampaknya kendati masih bisa meraih pertumbuhan. Setelah meraih pertumbuhan aset 13,32% pada 2023, pertumbuhannya melambat menjadi 6,52% pada 2024.
Tragisnya, laba industri multifinance anjlok 2,12% tahun lalu. Menurut Biro Riset Infobank dalam kajian Rating 130 Multifinance 2025, ada 55 perusahaan pembiayaan yang labanya menurun. Bahkan, multifinance yang mengalami kerugian sebanyak 28 perusahaan, belum termasuk 16 perusahaan pembiayaan yang tidak diketahui kinerja keuangannya karena tidak mengeluarkan laporan keuangan.
Ada tiga tantangan berat yang dihadapi industri multifinance tahun ini. Satu, pasar pembiayaan yang tertekan oleh melemahnya permintaan sebagai imbas dari anjloknya daya beli masyarakat.
Indikator melemahnya daya beli terlihat dari perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta dalam struktur produk domestik bruto (PDB) per kuartal satu 2025 yang sebesar 4,89%, atau lebih rendah dari pertumbuhan empat kuartal sepanjang 2024.
Dua, ketatnya likuiditas yang telah terjadi beberapa tahun terakhir karena persaingan merebut dana masyarakat tidak hanya antar produk perbankan tapi juga Surat Berharga Negara (SBN) yang dikeluarkan pemerintah maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI).
Imbal hasil (yield) yang lebih menarik membuat investor lebih memilih untuk membeli SBN atau SRBI. Imbasnya, pertumbuhan dana di perbankan pun melambat. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 4,48% pada 2024 dan 4,75% pada kuartal satu 2025.
Atau, lebih rendah dari pertumbuhan kredit perbankan yang pada periode tersebut sebesar 10,39% dan 9,16%.
Tiga, risiko penurunan kualitas pembiayaan karena pendapatan masyarakat yang menurun bahkan hilang karena terkena badai PHK. Sempitnya lapangan kerja terlihat dari meningkatnya angka pengangguran.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Per Februari 2025, jumlah pengangguran mencapai 18,95 juta (terdiri dari pengangguran terbuka 7,28 juta orang dan setengah menganggur 11,67 juta orang.
Sementara jumlah pekerja paruh waktu sebanyak 37,62 juta orang. Jadi dari 153,05 angkatan kerja, yang bekerja secara penuh hanya 96,48 juta atau 63,03%.
Badai PHK membuat pengangguran meningkat, kriminalitas naik, dan banyak orang mencari perlindungan ke organisasi kemasyarakatan (ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Tragisnya, ormas bertindak seperti penegak hukum gelap yang menjadi tempat berlindung bagi debitur yang lari dari tanggung jawab untuk membayar tunggakannya ke perusahaan pembiayaan maupun bank.
Tak ada acara lain bagi perusahaan multifinance maupun bank menghadapi premanisme ormas. Jangankan pegawai bank atau multifinance, debt collector yang garang saja memilih tiarap daripada harus menghadapi bentrokan dengan ormas yang “dibackup” penguasa.
Jika aksi premanisme yang melindungi debitur nakal dibiarkan, industri pembiayaan bakal dihantam kredit macet.
Daerah mana saja yang paling banyak ormas-nya dan menjadi “zona merah” yang dihindari perusahaan multifinance? Seperti apa performa perusahaan-perusahaan pembiayaan menurut hasil Rating 130 Multifinance 2025 yang berhasil meraih peluang di tengah badai PHK dan menjamurnya ormas? Simak selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 566 Juni 2025!