Menyapa Pohon, Mengenang Timtim

Perburuan Malam Hari

Jika kita buka lembaran-lembaran sejarah operasi ABRI di Timtim, banyak kisah kelam yang tercatat di gunung Tiba Silo. Salah satunya adalah peristiwa dramatis saat 30 prajurit dihabisi Fretilin di lerang Tiba Silo, dan menyisakan 9 prajurit selamat. Itu terjadi tahun 1978.

Sejak itu, strategi operasi pun pelan-pelan diubah. Di era Doni Monardo, perburuan fretilin tidak lagi dilakukan siang, tetapi malam hari.

Pengalaman menarik lain dari operasi ini adalah ketika harus berada di hutan dengan larangan keras mandi. Untuk makan mereka dibekali ransum jenis T2. Setidaknya ada dua jenis ransum T2. Yang pertama adalah T2-ABC. Yang kedua adalah T2FD.

Ransum T2-ABC sekilas menyerupai kaleng kornet. Beratnya sekitar 400 gram dan terdiri dari beberapa pilihan menu seperti nasi ikan, nasi tumis daging cincang, nasi ayam bakar, nasi daging cabai hijau, hingga nasi gudeg daging.

Ransum tersebut diproduksi langsung oleh TNI dan masa kedaluwarsanya diprediksi hingga satu tahun. Teknik pengolahannya pun terbilang praktis. Para serdadu hanya perlu menghangatkan kaleng tersebut beberapa saat. Porsinya pun cukup besar, T2 dapat dikonsumsi oleh dua orang sekaligus.

Yang kedua dinamakan T-2FD. Ini adalah jenis ransum yang dikeringkan sehingga proses pengolahanya diseduh terlebih dahulu dengan air mendidih. Umumnya, menu ransum ini berupa ‘nasi bantal’, istilah yang sering digunakan oleh tentara. Cara penyeduhanya, nasi yang berada di dalam plastik disiram air panas lalu ditutup selama kurang lebih 15 menit. Kemudian plastik akan menggelembung menyerupai bantal bayi yang menandakan hidangan tersebut telah matang.

“Kami dibekali T2-ABC, tidak boleh bawa sikat gigi, odol, sabun, apalagi deodoran. Kami juga tidak boleh mandi selama operasi. Maksudnya agar aroma tubuh kita melebur dengan aroma hutan. Sebab kalau di hutan, orang membuka pepsoden baunya bisa kecium sampai jarak yang jauh,” kenang Ketut.

Itu artinya, kalau seminggu di hutan, ya seminggu pula tidak mandi. Kalau 10 hari, ya 10 hari tidak mandi. “Tergantung perbekalan. Kalau logistik habis, kami baru turun ke base camp, tapi selama perbekalan masih ada, kami tetap bertahan di hutan. Bila perlu hanya makan mie instan mentah dan minum dari sumber-sumber air yang ada di tengah hutan,” tambahnya.

Teramat banyak kenangan I Gusti Ketut Riama, yang kini berpangkat kapten dan berusia 57 tahun itu. Lelaki kelahiran Jembrana ini menyebut Doni Monardo sebagai komandan yang sangat cerdas, cepat beradaptasi dengan keadaan, dan memiliki insting atau feeling yang kuat.

Setahun bertugas bersama Doni Monardo, Ketut merasakan kepemimpinan yang kuat. Sangat memotivasi dan perhatian. “Setahun kami di bawah komando pak Doni. Tak terhitung berapa kali kami kontak senjata dengan milisi fretilin. Kami bersyukur, tidak satu pun yang terluka apalagi sampai meninggal,” kata Ketut dalam nada suara takzim.

Sungguh, hari itu Doni merasa sangat bahagia. Perasaan yang harus ia selalu pelihara, agar imun tetap terjaga. Sebuah kebahagiaan yang sederhana, yakni dengan menyapa dan memeluk pohon, serta mengenang hari-hari panjang di medan juang. (*)

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.