Menjadi Dosen, Antara Cita dan Derita

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung.

Menjadi dosen di Indonesia sering kali bukan sekadar profesi. Ia adalah bentuk pengabdian, idealisme, dan bahkan panggilan jiwa. Bagi banyak lulusan terbaik perguruan tinggi, karier sebagai dosen bukan sekadar pilihan logis, melainkan kehormatan yang disandang setelah menempuh perjalanan akademik yang panjang dan melelahkan.

Dalam banyak kasus, cita-cita menjadi dosen bahkan hadir sebelum gelar akademik tertinggi dicapai.

Namun di balik citra idealis ini, tersembunyi satu kenyataan pahit yang kerap luput dari perhatian publik maupun pemerintah: kehidupan awal seorang dosen muda hampir selalu dimulai dengan tekanan ekonomi yang berat.

Tidak sedikit yang terjebak dalam fase penuh ketidakpastian—menunggu penempatan, menjalani latsar, dan menerima gaji yang tak cukup untuk hidup layak di kota manapun di Indonesia.

Dapat diibaratkan bahwa dosen muda pada awal karirnya bagaikan bayinya karir dosen. Tetapi dikali bayi karir dosen ini, susunya tidak cukup. Maka dosen muda bisa tidak tumbuh optimal dalam berkariernya karena amunisi hidup tidak memadai.

Antusiasme tinggi, sistem belum siap

Animo menjadi dosen di Indonesia sangat tinggi. Setiap kali rekrutmen nasional dibuka oleh pemerintah, ribuan pelamar berebut kursi dosen di berbagai perguruan tinggi negeri. Mereka datang dengan gelar magister, dan banyak pula yang telah menempuh pendidikan doktoral, baik di dalam maupun luar negeri.

Proses rekrutmen itu sendiri tidak mudah. Calon dosen harus melewati berbagai tahap seleksi administratif, akademik, psikologis, dan wawancara mendalam yang sering kali mengedepankan visi dan misi keilmuan.

Namun, ketika semua ujian telah dilewati dan pengumuman kelulusan datang, yang terjadi bukanlah awal masa tenang, tetapi justru masa tunggu. Penempatan tidak serta-merta. Sebagian harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan SK CPNS.

Dan ketika akhirnya ditempatkan, mereka harus siap menerima kenyataan bahwa gaji pertama sebagai dosen CPNS hanya berkisar di bawah Rp 3,75 juta per bulan.

Beban ganda dosen muda

Dosen muda tidak hanya mengajar. Mereka juga dituntut untuk segera menyesuaikan diri dengan sistem tridharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dalam praktiknya, ini berarti menyusun rencana perkuliahan, membimbing mahasiswa, mempersiapkan proposal riset, mengikuti pelatihan dasar (latsar), serta mulai merancang pengabdian masyarakat yang berdampak nyata. Semua ini dilakukan dalam waktu bersamaan dan dalam status kepegawaian yang belum penuh.

Kondisi ini diperparah dengan beban administratif yang terus meningkat. Di banyak kampus, dosen muda justru menjadi tenaga utama yang menangani laporan akreditasi, pelaporan BKD (Beban Kerja Dosen), serta digitalisasi sistem akademik.

Alih-alih bisa fokus membangun keilmuan dan publikasi, waktu mereka sering habis untuk pekerjaan administratif yang tidak selalu diimbangi insentif finansial yang memadai.

Bertahan di tengah tekanan biaya hidup

Kehidupan dosen muda di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, atau Makassar sungguh menantang. Dengan gaji CPNS yang kecil, mereka harus membayar kos atau sewa rumah, transportasi harian, makan, dan kebutuhan komunikasi.

Belum lagi bagi mereka yang telah berkeluarga, di mana beban keuangan semakin besar. Banyak yang akhirnya bergantung pada bantuan karib kerabat atau mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan.

Bukan rahasia lagi bahwa sebagian dosen muda mungkin pengajar honorer tempat yang mungkin atau membuka jasa jasa tertentu demi tambahan penghasilan. Ini bukanlah bentuk ketidaksetiaan pada profesi, melainkan bentuk adaptasi atas ketidakhadiran negara dalam menjamin kehidupan layak sejak awal karier akademik.

Mimpi yang perlahan terkikis

Tidak sedikit dosen muda yang memulai profesinya dengan semangat tinggi—ingin berkontribusi pada bangsa melalui ilmu. Namun, ketika bulan demi bulan berlalu tanpa kejelasan finansial, idealisme mulai tergerus oleh realitas.

Beberapa akhirnya memutuskan untuk keluar dari dunia akademik, mencari pekerjaan di sektor swasta atau lembaga internasional yang menawarkan stabilitas dan pengakuan yang lebih nyata.

Pemerintah sering menyampaikan pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, mendorong inovasi, dan menjadikan Indonesia sebagai negara berdaya saing global. Namun, bagaimana mungkin target sebesar itu dicapai jika aktor kunci dalam sistem pendidikan—yakni dosen—justru memulai perannya dalam kondisi serba kekurangan dan kecemasan?

Solusi bukan sekadar tunjangan serdos

Selama ini, harapan peningkatan kesejahteraan dosen disandarkan pada tunjangan sertifikasi dosen (Serdos). Namun, tunjangan ini hanya bisa diperoleh setelah dosen berstatus PNS penuh dan memenuhi berbagai syarat, termasuk beban mengajar minimal dan penilaian kinerja. Prosesnya memakan waktu bertahun-tahun, sementara kebutuhan hidup mendesak tidak bisa ditunda.

Ada pula insentif BKD dan hibah penelitian, tetapi itu pun bersifat variabel, tidak menjangkau semua dosen secara merata, dan sangat bergantung pada kuota anggaran serta birokrasi.

Maka, solusi jangka pendek yang realistis dan terukur adalah menetapkan standar minimum pendapatan dosen baru—sejak awal menjadi CPNS—misalnya minimal sebesar Rp 8 juta per bulan.

Investasi negara pada intelektual bangsa

Jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan pendidikan tinggi sebagai tulang punggung kemajuan bangsa, maka saatnya melakukan investasi nyata pada sumber dayanya: dosen. Meningkatkan gaji dosen bukanlah beban keuangan, melainkan modal dasar untuk memastikan kualitas riset, pembelajaran, dan transfer ilmu yang berkelanjutan.

Anggaran pendidikan Indonesia cukup besar per tahun belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan pokok dosen. Dalam struktur belanja negara, peningkatan gaji dosen CPNS menjadi contohnya minimal Rp 8 juta per bulan tidak akan menimbulkan beban fiskal signifikan, tetapi akan berdampak besar pada kualitas pendidikan tinggi nasional.

Kebijakan yang mengembalikan martabat

Martabat profesi dosen bukan sekadar ditentukan oleh gelar atau posisi struktural, tetapi oleh bagaimana negara memperlakukan mereka sejak awal.

Jika seorang dokter mendapatkan tunjangan residen yang layak selama masa pendidikan dan penugasannya, mengapa dosen yang menjadi garda depan pendidikan bangsa justru memulai kariernya dengan ketidakpastian?

Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan semangat dosen muda dikorbankan oleh sistem yang gagal memberikan jaminan dasar hidup. Sudah saatnya pemerintah—melalui Kementerian Pendidikan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PAN-RB—membuka mata dan hati terhadap realitas ini. Dosen adalah aset bangsa, bukan relawan permanen.

Jangan lagi ada kepanikan dalam profesi ilmiah

Memulai karier dosen seharusnya bukan menjadi awal dari kekhawatiran ekonomi. Dosen muda harusnya bisa fokus pada peningkatan kualitas mengajar, riset, dan kontribusi sosial. Tanpa kelegaan finansial di awal, mereka akan sulit membangun kapasitas akademiknya secara maksimal.

Dan bila itu terjadi, yang dirugikan bukan hanya individu, tetapi seluruh sistem pendidikan tinggi nasional.

Sudah waktunya kita berhenti menormalisasi penderitaan dosen muda. Sudah waktunya negara hadir secara nyata untuk menjadikan profesi dosen sebagai profesi yang bermartabat, sejak hari pertama mereka mengabdi.

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.