Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Nama Kahiyang Ayu dan suaminya Bobby Nasution, putri dan menantu Presiden Jokowi disebut dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Ternate dengan terdakwa Gubernur Maluku Utara nonaktif Abdul Gani Kasuba. Kahiyang-Bobby disebut menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel di Malut yang dikenal sebagai “Blok Medan”, merujuk jabatan Bobby sebagai Walikota Medan, Sumatera Utara. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergeming.
Nama Kaesang Pangarep dan istrinya Erina Gudono, putra bungsu dan menantu Presiden Jokowi disebut menerima gratifikasi Privat Jet Gulfstream G650ER saat jalan-jalan ke Amerika baru-baru ini. Namun, KPK cuma bisa basa-basi.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika mengatakan pihaknya tidak bisa memeriksa Kaesang karena Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu bukan penyelenggara negara atau pegawai negeri.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kemudian berbasa-basi, Kaesang akan diklarifikasi. Surat panggilan pun sudah disiapkan. Tapi mau dikirim ke mana, karena KPK tak mengetahui keberadaan Kaesang?
Dari dua peristiwa itu saja wajah KPK sudah terlihat muram. Apalagi ditambah dengan terpentalnya Firli Bahuri dari kursi Ketua KPK setelah ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka pemerasan Menteri Pertanian saat itu Syahrul Yasin Limpo.
Ditambah lagi dengan terpentalnya Lili Pintauli Siregar dari kursi Wakil Ketua KPK sesaat sebelum disidang etik digelar terkait gratifikasi tiket dan hotel saat menonton Moto GP di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Ditambah lagi dengan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang Jumat (6/9/2024) nanti akan diputuskan nasibnya dalam sidang etik Dewan Pengawas KPK terkait penyalahgunaan jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK dalam mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Pertanian yang saat itu dipimpin Syahrul Yasin Limpo.
Masih ditambah lagi dengan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang sempat dilaporkan ke Dewas KPK namun akhirnya diputus bebas.
Tanak yang menggantikan Lili Pintauli Siregar ini sebelumnya diduga melanggar etik karena berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di KPK, yakni Kepala Biro Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) M Idris Froyoto Sihite.
Masih ditambah lagi dan lagi dengan pemecatan 66 pegawai Rumah Tahanan KPK yang terlibat pungutan liar ke tahanan hingga Rp6,5 miliar.
Maka makin sempurnalah muramnya wajah KPK jilid V atau periode 2019-2024 ini.
Lantas, akan seperti apa wajah KPK jilid VI atau periode 2024-2029 nanti?
Diprediksi tidak akan jauh berbeda dengan periode 2019-2024 ini. Bahkan bisa jadi lebih bermuram durja. Betapa tidak?
Orang Dalam
Dari 40 orang yang lolos tes tertulis calon pimpinan KPK periode 2024-2029, sejumlah nama adalah “orang dalam” atau pernah menjadi “orang dalam” KPK.
Sebut saja dua Wakil Ketua KPK yang masih menjabat, yakni Nurul Ghufron dan Johanis Tanak. Lalu, Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono dan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan.
Satu lagi, Johan Budi Sapto Pribowo yang pernah menjadi Juru Bicara KPK dan kemudian naik kelas menjadi Wakil Ketua KPK, dan kemudian menjadi anggota DPR RI dari PDI Perjuangan.
Nama-nama “orang dalam” inilah yang diprediksi akan lolos ke kursi Pimpinan KPK jilid VI atau periode 2024-2029. Namun, yang kansnya paling besar tentu saja adalah Nurul Ghufron dan Johanis Tanak. Mengapa?
Pertama, Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK yang diketuai Muhammad Yusuf Ateh, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), adalah bentukan Presiden Jokowi. Tentu ada kriteria tertentu yang disodorkan Jokowi untuk mereka yang boleh atau tidak boleh diloloskan. Artinya, Ghufron, Tanak, Giri dan Pahala tak masalah jika diloloskan.
Terbukti, selama hampir lima tahun terakhir ini KPK bisa “bekerja sama” dengan Jokowi. Apalagi usai revisi Undang-Undang (UU) KPK, dari UU No 30 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019, di mana kemudian lembaga antirasuah ini masuk rumpun kekuasaan eksekutif, sehingga KPK pun menjadi alat politik Presiden: menggebuk lawan, melindungi kawan.
Selain KPK masuk rumpun kekuasaan eksekutif, hal sangat signifikan dalam revisi UU KPK adalah penambahan kewenangan sebagaimana disebut dalam Pasal 40 UU No 19 Tahun 2019 sehingga KPK memiliki kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang sebelumnya diharamkan.
Dengan kewenangan baru tersebut, KPK langsung melakukan “obral” SP3, termasuk kepada taipan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim, tersangka pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sejauh ini sudah ada 7 SP3 yang diterbitkan KPK. Teranyar diberikan kepada Surya Darmadi alias Apeng, pemilik Duta Palma Group, tersangka korupsi alih fungsi hutan di Riau yang merugikan keuangan negara hingga Rp78 triliun.
Usai revisi UU KPK, pemberantasan korupsi di Indonesia memang langsung terpuruk. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia langsung merosot ke angka 34 pada 2022 dan 2023.
Kepercayaan publik terhadap KPK juga langsung menurun di kisaran angka 60%, di bawah Kejaksaan Agung dan Polri.
Usai Jokowi lengser pada 20 Oktober nanti, giliran Prabowo Subianto yang akan mengendalikan KPK. Prabowo diprediksi akan sama saja dengan Jokowi.
Kedua, dalam proses “fit and proper test” (uji kelayakan dan kepatutan) di Komisi III DPR nanti, justru mereka yang tidak berintegritas bahkan bermasalah yang akan dipilih. Sebab, mereka yang tidak berintegritas bahkan bermasalah bisa dikendalikan oleh Senayan dan juga Istana. KPK tersandera.
Nurul Ghufron dan Johanis Tanak adalah orang yang bermasalah di KPK. Adapun Giri Suprapdiono dan Pahala Nainggolan diketahui tak berprestasi di KPK.
Contoh DPR lebih suka memilih sosok yang tidak berintegritas bahkan bermasalah terjadi dalam “fit and proper test” capim KPK periode 2019-2023 di mana setelah terjadi revisi UU KPK periodenya diperpanjang setahun menjadi 2019-2024.
Firli Bahuri adalah sosok bermasalah semasa menjabat Deputi Penindakan KPK. Tapi tetap dipilih bahkan dengan suara terbanyak, sehingga mantan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Mabes Polri itu ditetapkan menjadi Ketua KPK.
Begitu pun Lili Pintauli Siregar yang tak berintegritas namun tetap dipilih DPR, sehingga ketika duduk di kursi Wakil Ketua KPK diduga terlibat gratifikasi sehingga mengundurkan diri sesaat sebelum disidang etik Dewas KPK.
Ghufron dan Tanak pun tak berintegritas, sehingga ketika duduk di kursi Wakil Ketua KPK mereka terjerat masalah etik.
Lalu, bagaimana dengan Johan Budi Sapto Pribowo?
Semasa menjabat Jubir KPK memang lumayan bagus. Tapi ketika naik kelas menjadi Wakil Ketua KPK, tak ada prestasi signifikan.
Johan juga diprediksi akan lolos ke kursi Pimpinan KPK. Pasalnya, yang akan melakukan “fit and proper test” kepada Johan adalah teman-teman dia sendiri.
Analog dengan “fit and proper test” calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) oleh Komisi XI DPR di mana alumni Senayan nyaris dapat dipastikan lolos. Ketika di BPK, mereka bermasalah. Contohnya Rizal Djalil (PAN) dan Achsanul Qosasi (Partai Demokrat) yang sudah dipenjara karena korupsi, dan mungkin akan menyusul Pius Lustrilanang (Partai Gerindra).
Johan Budi saat ini masih menjadi anggota Komisi III DPR dari PDI Perjuangan yang jabatannya baru akan berakhir pada 1 Oktober mendatang. Johan memang maju lagi di Pemilu 2024, namun tidak terpilih. Bekas wartawan ini kemudian banting stir dari Senayan ke Kuningan.
Andai saja yang akan melakukan “fit and proper test” nanti adalah anggota DPR periode 2024-2029, teman-teman Johan di Komisi III DPR pun masih cukup banyak, karena PDIP merupakan pemenang Pemilu 2024.
Jika orang-orang dalam dan bekas orang dalam KPK itu terpilih dan duduk di kursi Pimpinan KPK periode 2024-2029, maka wajah KPK akan tetap muram seperti saat ini. Tak ada yang bisa diharapkan. Johan Budi sedikit atau banyak juga sudah terkontaminasi “virus Senayan”.
Ada satu nama lagi yang lolos seleksi tulis capim KPK meski bukan ordal, yakni Sudirman Said. Namun jika bekas Menteri ESDM ini lolos ke kursi Pimpinan KPK, bisa jadi akan banyak terjadi politisasi di KPK, sebagaimana kekhawatiran yang sama tertuju kepada Johan Budi. Sebab, Sudirman adalah seorang politikus yang juga pernah mencoba peruntungan menjadi calon gubernur Jawa Tengah, namun tidak terpilih.
Kini, ketika namanya disebut bersama Anies Baswedan bakal mendirikan partai politik, Sudirman langsung membantah. Ia takut dikait-kaitkan dengan politik ketika sedang menjalani proses seleksi untuk menjadi Pimpinan KPK.
Alhasil, wajah KPK jilid VI atau periode 2024-2029 diprediksi akan tetap muram, bahkan bisa lebih muram daripada periode ini. Itulah!