Medan — Kebijakan pemerintah memberlakukan DPO (domestic price obligation) sebesar Rp9.300 per liter untuk CPO akan mendapatkan penolakan dari petani sawit. Ini sama saja petani yang kasih subsidi harga minyak goreng (migor).
Meskipun di sisi lain dibarengi kebijakan menerapkan DMO (domestic market obligation) 20%. Artinya, pemerintah tidak membuat kebijakan pembatasan 100% terhadap produk sawit dan turunannya untuk diekspor.
Namun, kebijakan tersebut diambil untuk menyelamatkan konsumen, terutama ibu rumah tangga, dari mahalnya harga minyak goreng (migor).
“Sekalipun hanya sekitar 20% saja yang diperuntukan dan dikenakan harga sesuai DPO, tetap saja berpeluang menekan harga TBS di tingkat petani,” ujar ekonom UIN Sumut, Gunawan Benjamin, saat berbincang dengan The Asian Post di Medan, Rabu, 2 Februari 2022.
Sekalipun perhitungan harga CPO domestik nantinya mengacu kepada harga di Rotterdam, bukan harga DPO dari Kementerian Perdagangan, hal ini tetap saja bisa membuat pengusaha akan menghitung potensi rata-rata kerugian (potential lost) dari potensi keuntungan.
“Seharusnya didapat seandainya mereka menjual CPO dengan harga lebih mahal saat di ekspor tanpa harga DPO,” kata Benjamin.
Menurut dia, pengusaha bisa saja membebankan ke harga TBS, dengan mengurangi harga pembelian TBS dari petani, karena potensi pendapatan tidak maksimal disebabkan kebijakan DMO.
Akan tetapi sangat bergantung pada implementasi kebijakan itu sendiri nantinya. Belum bisa menyimpulkan sepenuhnya berapa presentasi penurunan harga TBS dikarenakan kebijakan tersebut.
Pemerintah pada dasarnya tengah berhadapan dengan kebijakan dilematis. Kesulitan dalam mengendalikan harga minyak goreng, di tengah lonjakan harga minyak sawit atau CPO dunia.
“Apakah menyelamatkan konsumen minyak goreng atau petani sawitnya. Bukan perkara mudah, dan sayangnya kenaikan fantastis harga CPO dalam sejarah ini ternyata tidak semua menjadi kabar baik bagi kita,” kata Benjamin
Pada dasarnya kebijakan DMO turut merugikan negara. Pendapatan valas dari ekspor CPO menjadi tidak maksimal. Sementara, masyarakat terbagi menjadi dua kubu. Yakni masyarakat konsumen minyak goreng yang dirugikan karena harga selangit dan petani perkebunan sawit berpotensi kehilangan pendapatan.
“Skema kebijakan DMO/DPO, nantinya masyarakat berkesimpulan dimana petani sawitlah yang pada dasarnya mensubsidi harga minyak goreng,” tegasnya.
Kalau yang dikhawatirkan petani kita saat ini adalah adanya potensi penurunan harga CPO di bawah harga keekonomiannya. “Saya pikir sih belum akan terjadi. Karena harga CPO di kisaran 5.400-an ringgit per ton saat ini,” ujar Benjamin.
Kecuali nanti, lanjutnya, ada tren penurunan. diyakini bahwa pemerintah nantinya akan menyesuaikan kebijakan terkait sawit dan produk turunannya untuk menyeimbangkan pasar. (*)
Kontributor: Bachtiar Adamy
Editor: Darto Wiryasukarto