Ketika Diam Jadi Budaya: Apa yang Kita Wariskan?
Oleh Agus Somamihardja, Ph.D., alumnus Asian Institute of Technology (AIT) Thailand dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
AKHIR-akhir ini saya punya hobi baru: menulis. Hanya artikel ringan. Saya kirim ke teman-teman dan beberapa grup WhatsApp. Awalnya deg-degan juga. Khawatir, apakah mereka mau membaca? Apakah mereka akan suka? Atau jangan-jangan malah terganggu? Kadang saya sungkan ketika memposting, apalagi saat grup sedang hangat bercanda atau diskusi.
Lama-lama artikel itu terkirim juga: lima, enam, tujuh, lalu sepuluh, sebelas. Kadang saya dapat 2 like, kadang 3, kadang nihil. Tapi centang biru menunjukkan banyak yang membaca. Saya berbaik sangka: mereka membaca, hanya tak berkomentar. Tidak apa-apa.
Sampai kemudian, dalam obrolan langsung, saya dibuat terkejut. Banyak yang ternyata antusias.
“Pak, saya tunggu-tunggu tulisannya,” kata mereka. Ada yang menyarankan dibukukan. Bahkan ada yang hafal ritme terbitnya: “Sabtu dan Minggu libur, ya Pak?”
Saya bahagia. Ternyata mereka membaca. Mereka hanya diam.
Tapi mengapa diam?
Saya teringat, budaya diam bukan hal baru. Ia hadir sejak di ruang kelas di sekolah. Anak saya yang kuliah di luar negeri pernah bercerita: “Mahasiswa Indonesia cenderung diam di kelas.”
Saya coba membela, “Asal mereka mengerti, dan nilainya bagus, tak masalah, kan.”
Anak saya menimpali, “Kasihan dosennya. Ia tak tahu apakah mahasiswanya memahami kuliahnya atau tidak.”
Saya tersadar, budaya diam memang begitu kuat tertanam. Di ruang publik, kita menyimak, tapi jarang menyela. Di ruang kekuasaan, korupsi terlihat, tapi banyak memilih bungkam. Dulu, tiga setengah abad dijajah Belanda, rakyat pun seperti diam. Kini dijajah segelintir oknum serakah, kita tetap diam. Apakah ini sekadar kebiasaan?
Sejak kecil, kita tumbuh dengan petuah: jangan menyela orang tua, jangan membantah guru, jangan banyak tanya. Kita diajari sopan lewat diam.
Maka jangan heran, di forum-forum, murid diam seribu bahasa. Dalam budaya ini, suara dianggap gangguan, bukan tanda kehidupan.
Geert Hofstede (1980) menyebut Indonesia sebagai negara dengan power distance tinggi. Masyarakat cenderung menerima kekuasaan tanpa banyak bertanya. Bertanya bisa dianggap membangkang. Berbeda bisa dianggap mengganggu. Maka diam menjadi strategi bertahan: agar tetap dianggap “baik-baik saja”.
WARISAN KETAKUTAN
Tapi diam kita bukan sekadar budaya. Ia juga warisan trauma. Kita pernah terlalu lama dijajah, lalu dikekang rezim otoriter. Kita belajar bahwa bersuara itu berbahaya. Maka kita selamat dengan satu cara: diam.
Martin Seligman (1972) menyebutnya learned helplessness. Yakni ketika seseorang belajar bahwa perlawanan tak ada gunanya, maka ia berhenti mencoba. Rakyat yang merasa suaranya tak didengar, perlahan kehilangan suaranya.
Dan trauma itu diwariskan lewat laku harian. Lewat cara kita melarang anak bertanya. Lewat guru yang meredam keberanian murid berpikir berbeda. Lewat ancaman aparat kepada aktivis yang bersuara. Kita mewariskan diam, sebagai bentuk aman yang perlahan jadi kebiasaan.
Riset neurosains menunjukkan, ditolak secara sosial memicu bagian otak yang sama dengan rasa sakit fisik (Eisenberger & Lieberman, 2004). Maka, bertanya lalu disalahkan di depan umum bisa terasa menyakitkan. Dalam budaya kolektif seperti kita, rasa malu bahkan lebih ditakuti daripada kesalahan itu sendiri.
Kita hidup dalam masyarakat yang diam. Diam bukan karena tak tahu, tapi karena terlalu tahu. Kita membaca, menyimak, mencatat, bahkan menyimpan potongan-potongan realitas seperti arsip rahasia di kepala kita. Tapi kita memilih diam. Karena takut berbeda. Takut disalahkan. Takut jadi bahan tertawaan. Takut menyalakan cahaya di dalam pikirannya sendiri.
Diam itu bukan sekadar pilihan rasional, bisa jadi ia warisan. Bukan hanya warisan budaya akibat rezim otoriter, tapi juga warisan biologis yang tertanam di tubuh kita.
Penelitian terbaru dalam epigenetika menunjukkan bahwa trauma bisa diwariskan, bukan lewat cerita, melainkan lewat jejak kimiawi dalam tubuh. Jejak ini tidak mengubah DNA, tapi mengatur bagaimana gen bekerja, terutama gen yang mengendalikan respons terhadap stres dan rasa takut.
Brian Dias dan tim dari Emory University (2014) menemukan bahwa tikus yang dilatih untuk takut pada bau tertentu, mewariskan ketakutan itu pada anak-anaknya, meski generasi berikutnya tak pernah mengalami kejadian traumatis itu sendiri.
Hal serupa juga ditemukan pada manusia. Penelitian Rachel Yehuda dan timnya (2016) menunjukkan bahwa anak-anak korban Holocaust mengalami perubahan pada gen pengatur hormon stres.
Begitu pula pada kasus genosida Rwanda, studi Serpeloni dkk. (2020) menemukan bahwa trauma orang tua membentuk respons stres anak-anak mereka, mereka lebih mudah cemas, panik, dan takut. Seolah tubuh mereka menyimpan luka yang tak mereka alami sendiri.
Wajar jika sebagian dari kita sering merasa takut tanpa sebab yang jelas. Trauma itu mungkin hidup diam-diam dalam tubuh, membentuk pola pikir, dan menjelma budaya diam. Budaya tunduk. Budaya “jangan ribut, nanti celaka.”
Dengan kata lain, luka kolektif bangsa ini bisa hidup dalam sel tubuh generasi berikutnya. Bukan sekadar lewat cerita atau dongeng, tapi lewat memori kimia yang diwariskan.
DIAM TAK LAGI EMAS
Namun, kita tak bisa terus begini. Kita tak bisa membangun bangsa di atas kebungkaman. Kita butuh generasi yang berani bertanya. Kita butuh ruang yang aman untuk berpikir kritis. Dan pendidikan yang memberi penghargaan pada keberanian, bukan sekadar hafalan nilai.
Di zaman ini, diam bukan lagi emas. Diam adalah kemewahan yang hanya bisa dipelihara oleh mereka yang tak lagi peduli. Tapi kita masih peduli. Maka kita bersuara.
Menulis, adalah cara saya menyapa untuk mengajak bersuara. Alhamdulillah tulisan-tulisan itu telah menjangkau hati, walau belum memanggil suara. Mungkin belum sekarang. Tapi kita sedang menuju ke sana.
Dan jika boleh memilih satu warisan untuk anak cucu kita, bukanlah tanah yang luas, harta segudang atau gelar, tapi keberanian: untuk berpikir jernih, bertanya jujur, dan menyuarakan nurani.
Itulah satu-satunya cara agar bangsa ini tetap hidup. (*)