Oleh Karnoto Mohamad, Pemimpin Redaksi The Asian Post
HARI ini umat Islam memperingati Isra Miraj. Apa yang perlu dimaknai dari Isra Miraj adalah bukan sekedar memaknai peristiwa perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjid Al Aqsa hingga sampai langit ke-7 untuk diperlihatkan sebagian dari kebesaran Sang Pencipta. Selain makna transformasi spiritual, juga ada makna transformasi sosial.
Transformasi spiritual yang mengajak manusia dari tidak taat menjadi taat dan patuh kepada perintah dan larangan Allah. Transformasi sosial yang mengajak kepada perubahan dari satu keadaan menuju ke keadaan yang lebih baik. Perubahan dari kesalahan menuju kesalehan. Perubahan dari kemunduran atau stagnasi menuju kemajuan.
Satu abad silam, banyak bangsa-bangsa di dunia masih berada dalam cengkeraman fisik bangsa-bangsa lain yang lebih kuat, temasuk Indonesia yang dijajah Belanda. Di alam kehidupan modern saat ini tidak ada cengkeraman secara fisik namun semua negara harus melakukan transformasi untuk membangun kedaulatan ekonominya sehingga tidak mudah dicengkeram oleh negara lain secara geopolitik.
Contohnya negara berhasil melakukan transformasi kemudian naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, umumnya adalah negara-negara yang pemimpin dan aparaturnya menjunjung tinggi etika dan tidak memiliki budaya korupsi.
Sedangkan negara-negara dengan budaya korupsi yang tinggi sulit naik kelas. Bank Dunia mencatat, dari 101 negara berpendapatan menengah sejak 1960, hanya ada belasan negara yang berhasil naik kelas menjadi high income countries, diantaranya Yunani, Hongkong, Irlandia, Israel, Jepang, Mauritius, Portugal, Puerto Riko, Republik Korea, Singapura, Spanyol, dan Taiwan Provinsi Tiongkok.
Sedangkan Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan budaya korupsi yang tinggi masih terjebak sebagai medium income country sejak 1982 sampai sekarang.
Transformasi atau perubahan yang membawa hasil membutuhkan kebijaksanaan, etika, dan integritas dari para pemimpinnya. Bahkan, keberhasilan bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan Belanda sesungguhnya tak lepas dari politik etis yang digagas oleh Van Deventer melalui tulisan-tulisannya hingga pemerintah Belanda terpanggil secara moral (een eerschuld) kepada bangsa bumiputera yang melalui system tanam paksa telah menyumbangkan kemakmuran bagi negara Belanda.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan kebijakan politik etis yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera melalui irigasi, edukasi dan emigrasi. Berkat politik etis Belanda, lahir tokoh-tokoh pergerakan yang berhasil membawa bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Dengan etika dan integritas, para pemimpin bangsa berhasil meraih kepercayaan secara gratis oleh rakyat. Pada zaman revolusi kemerdekaan dan keuangan Indonesia sebagai negara baru carut-marut, Soekarno meraih kepercayaan karena adanya kepentingan yang sama dari rakyat Indonesia, yaitu kemerdekaan. Soeharto meraih kepercayaan rakyat yang menginginkan turunnya harga-harga meskipun dia harus menyingkirkan orang-orang yang berseberangan secara politik.
Begitu juga para pemimpin penerusnya hingga Joko Widodo (Jokowi) yang memimpin Indonesia sejak 2014 pun meraih kepercayaan secara gratis lebih dari separuh rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia akan kembali memilih pasangan presiden dan wakil presiden baru pada 14 Februari 2024. Bicara presiden dan wakilnya maka kita bicara kepemimpinan dan kepercayaan. Indonesia membutuhkan pemimpin terpercaya. Pemimpin yang dipercaya karena kemampuan dan integritasnya untuk mewujudkan janji-janjinya kepada rakyat, bukan berapa besar pendanaan yang mendukungnya untuk membeli suara rakyat.
Karena paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka paslon didukung oleh Presiden Jokowi yang sedang berkuasa sehingga menguasai berbagai sumber daya negara, maka wajar dalam debat presiden paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sempat mengemukakan soal ethics yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Kendati didebatkan secara berlanjut, setidaknya Presiden Jokowi mempertontonkan tiga pelanggaran etika kepada publik hingga kalangan civitas akademika perguruan-perguruan tinggi besar di Indonesia menyampaikan aspirasi dan keprihatinannya.
Satu, membiarkan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin adik ipar Jokowi meloloskan Gibran yang merupakan anak Jokowi untuk maju menjadi calon wakil presiden meskipun usianya baru 37 tahun atau di bawah 40 tahun.
Dua, ketidaknetralan pemerintahan Jokowi baik dalam kegiataan maupun statement politik, hingga kebijakan fiskal yang menganggarkan dana bantuan sosial senilai Rp498 triliun di tahun politik atau naik Rp20 triliun dari 2023, atau melebihi anggaran bansos pada masa puncak pandemi 2020 yang sebesar Rp496 triliun.
Tiga, adanya barter politik yang dilakukan Presiden Jokowi dengan para Penjabat (Pj) kepala daerah bahkan hingga kepala desa seluruh Indonesia yang diperpanjang masa jabatannya menjadi 8 tahun dan boleh diperpanjang dua kali sehingga menjadi 16 tahun.
Apakah berlanjut ke pelanggaran etika yang keempat berupa kecurangan dalam pemilihan presiden pada 14 Februari 2024? Ini yang dikhawatirkan banyak kalangan.
Padahal, etika atau moral adalah refleksi dari spirit transformasi spiritual yang dimaknai dari Isra Miraj Nabi Muhammad. Dan rakyat Indonesia saat ini sangat merindukan pemimpin yang menjunjung tinggi etika dalam meraih kemenangan untuk tujuan kepentingan negara dan bangsa yang di atas segala-galanya, bukan kepentingan pemimpin sebelumnya bersama inner cyrcle-nya.
Pemimpin yang kemenangannya diraih dengan cara yang tidak menjunjung etika untuk sekedar meraih kekuasaan, itu sama saja membawa kita mundur ke era otoritarian atau zaman Belanda, penjajah yang masih sadar diri dengan politik etisnya.