Indonesia Kini: Pangan Dikuasai Korporasi, Politik Dikerangkeng Oligarki
Oleh Agus Somamihardja, alumnus Asian Institute of Technology (AIT) Thailand dan Institut Pertanian Bogor (IPB), pegiat kedaulatan pangan, dan Ketua Dewan Pakar Paguyuban Petani Koro Pedang Indonesia (PPKPI).
INDONESIA hari ini berada di persimpangan jalan. Setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, tanda-tanda kemajuan dan kesejahteraan justru semakin memudar. Di balik gemerlap infrastruktur dan angka-angka statistik makro, rakyat banyak justru terpinggirkan.
Oligarki dan korporasi besar menyandera dan menguasai sektor pangan. Ruang hidup rakyat dipersempit oleh kekuatan modal yang tak terkendali. Kini waktunya bangsa ini memilih: bertahan dalam keterpurukan, atau bangkit dan membangun ulang dari akarnya.
Bangsa Gagal: Ketika Institusi Tak Lagi Inklusif
Sebenarnya, Indonesia memiliki akar budaya yang sangat kuat baik dalam hal ketahanan pangan maupun nilai-nilai demokrasi. Dalam sistem pangan tradisional Nusantara, masyarakat mengenal beragam sumber karbohidrat dan protein lokal—sagu, talas, singkong, jagung, hingga kacang-kacangan seperti koro dan gude.
Namun, sejak era Orde Baru, narasi modernisasi disusupi oleh logika pangan tunggal dan ketergantungan pada impor. Program-program seperti revolusi hijau dan liberalisasi pangan membelokkan arah kebijakan pangan menjadi sentralistik dan pro pasar.
Gempuran gandum, kedelai GMO, dan beras dari luar negeri tidak hanya melemahkan ekosistem pangan lokal, tetapi juga mengikis identitas dan kedaulatan pangan bangsa (Hadi, 2010; Litbang Pertanian).
Dalam ranah politik, warisan budaya kita adalah nilai musyawarah, mufakat, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab secara moral. Sistem paternalistik yang dijalankan dengan kearifan lokal seharusnya bisa menjadi fondasi demokrasi yang deliberatif dan berbasis kolektivitas.
Sayangnya, kini demokrasi diarahkan menjadi prosedural semata—satu orang satu suara—yang mudah dikooptasi oleh kekuatan uang dan pencitraan. Demokrasi elektoral menggantikan semangat kolektif. Proses pemilihan kepala desa kini meniru panggung pilkada, penuh intrik dan adu logistik. Demokrasi sejati bukan sekadar suara terbanyak, tapi keberanian menyuarakan suara yang paling lemah (Winters, 2013; Mietzner, 2014).
Pergeseran sistem demokrasi ini terjadi beriringan dengan perubahan institusi ekonomi dan politik yang kian bersifat ekstraktif.
Kapitalisme global bekerja tidak hanya dengan kekuatan modal, tetapi juga dengan rekayasa sistemik mengubah budaya dan konsumsi.
Popkin & Gordon (2001) menunjukkan bahwa diet Asia kini terjebak dalam westernisasi—pola makan berbasis olahan, tinggi gula, lemak, dan rendah gizi. Pola makan lokal tergantikan oleh budaya instan, iklan, dan logika industri pangan global.
Hasilnya, kita tak hanya tergantung pada bahan pangan impor, tapi juga kehilangan akar identitas dan kesehatan masyarakat. Elite kekuasaan tidak menyadari—atau pura-pura tidak tahu—bahwa penyerahan kontrol atas pangan dan politik kepada pasar global adalah bentuk kolonialisasi baru.
Paska reformasi 1998, reformasi ekonomi dijalankan tanpa penguatan institusi rakyat. Privatisasi dan liberalisasi masuk tanpa hambatan. Melalui deregulasi, perjanjian dagang bebas, dan investasi agribisnis, rakyat dijauhkan dari kontrol atas sumber dayanya sendiri.
Dalam “Why Nations Fail”, Daron Acemoglu dan James Robinson menjelaskan bahwa bangsa gagal bukan karena miskin sumber daya, melainkan karena institusinya bersifat ekstraktif: dikuasai segelintir elite, menutup akses rakyat, dan memperkuat status quo. Gambaran ini sangat relevan dengan situasi Indonesia hari ini.
Sektor pangan menjadi potret nyata kegagalan. Pada tahun 2023, Indonesia mengimpor lebih dari 2 juta ton kedelai, 11 juta ton gandum, 1,5 juta ton gula, dan lebih dari 400 ribu ton daging (BPS, 2023).
Padahal, lahan pertanian kita luas dan tenaga kerja melimpah. Namun orientasi kebijakan lebih condong pada perdagangan bebas dibandingkan pemberdayaan petani. Ketergantungan ini memperlemah kedaulatan bangsa.
Lebih jauh, kualitas sumber daya manusia Indonesia masih memprihatinkan. Berdasarkan Human Capital Index 2023 dari World Bank, Indonesia berada di peringkat ke-87 dari 172 negara.
Angka stunting nasional masih tinggi, mencapai 21,5% pada 2022 (Kemenkes, SSGI 2022). Indeks daya saing global pun stagnan di posisi 44 (WEF, 2023).
Ini bukan sekadar statistik, melainkan potret buram dari sistem pangan, pendidikan, dan kesehatan yang tak kunjung berdaulat.
Ketimpangan pun makin tajam. Gini ratio Indonesia pada 2023 mencapai 0,388 (BPS, 2023), memperlihatkan jurang kaya-miskin yang kian menganga. Sebanyak 1% penduduk menguasai hampir 45% kekayaan nasional (Oxfam & INFID, 2023). Konsentrasi kepemilikan lahan sangat timpang: 5% penduduk menguasai lebih dari 50% lahan produktif (Sajogyo Institute).
Pangan yang seharusnya menjadi alat kedaulatan justru dijadikan komoditas spekulatif. Petani tersisih, desa kehilangan fungsi produksi, dan kebijakan pangan hanya menguntungkan importir dan pemain besar. Lembaga politik pun semakin jauh dari rakyat. Partai politik berubah menjadi alat transaksi kekuasaan, bukan ruang perjuangan aspirasi rakyat.
Jalan Keluar: Membangun dari Akar, Menguatkan Komunitas
Namun, sejarah mengajarkan bahwa perubahan sejati tidak selalu datang dari pusat kekuasaan. Perubahan besar justru sering kali tumbuh dari akar—dari rakyat yang berdaya, komunitas yang bangkit, dan ekonomi lokal yang pulih kembali. Dan harapan itu tetap ada—selama akar bangsa ini belum tercerabut sepenuhnya.
Kita perlu membangun institusi politik yang inklusif. Sistem pemilu yang transparan dan adil harus menjadi prioritas, disertai penguatan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal. Demokrasi tidak boleh sekadar pesta lima tahunan, melainkan menjadi praktik harian dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedaulatan pangan harus dikembalikan ke tangan komunitas. Kita perlu mendorong lahirnya koperasi pangan, Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) di desa-desa, dan model produksi berbasis lokal yang mengandalkan kekuatan petani kecil. Pangan bukan sekadar kebutuhan jasmani, tetapi simbol kedaulatan dan harga diri bangsa.
Pada saat yang sama, sistem ekonomi kita harus diarahkan pada model yang regeneratif dan adil. Pertanian sirkular—yang mengolah limbah organik menjadi kompos, pakan ternak, dan sumber energi lokal—adalah contoh nyata ekonomi berkeadilan berbasis ekosistem lokal. Rantai pasok pangan harus dibangun atas dasar transparansi dan keadilan, bukan dominasi kartel dagang.
Di Jepang, dikenal istilah Teikei, yakni Community Supported Agriculture (CSA) yang berarti “kerja sama” atau “hubungan langsung” antara petani dan konsumen. Diperkenalkan pada awal 1970-an oleh Japan Organic Agriculture Association (JOAA), Teikei lahir sebagai respons terhadap dampak negatif industrialisasi pertanian, seperti penggunaan bahan kimia berlebih dan ketergantungan pada pangan impor.
Dalam sistem ini, konsumen membayar di muka untuk hasil panen musiman, memberikan stabilitas finansial bagi petani dan menciptakan hubungan saling percaya tanpa perantara komersial. Lebih dari sekadar transaksi, Teikei membangun solidaritas dan keterlibatan langsung antara produsen dan konsumen dalam sistem pangan lokal yang berkelanjutan.
Agar gagasan-gagasan ini menjadi nyata, kita perlu melangkah dari wacana menuju aksi. Di tingkat akar rumput, komunitas harus mulai membentuk koperasi desa yang kokoh dan paguyuban petani yang aktif secara organisasi dan ideologis.
Literasi pangan perlu digencarkan melalui opini publik, media sosial, ruang belajar warga, dan forum diskusi. Kesadaran harus dibangun bersama. Kolaborasi dengan kampus, universitas, dan lembaga riset seperti BRIN perlu diperkuat.
Bukan hanya untuk mengembangkan standar pertanian dan sertifikasi produk, tetapi juga menciptakan inovasi berbasis kebutuhan lokal. Suara rakyat harus diperkuat dan didengar dalam setiap ruang kebijakan. Policy brief, petisi, hingga musyawarah rakyat harus menjadi praktik sehari-hari, bukan sekadar simbol.
Penutup: Indonesia Tidak Akan Gagal Jika Rakyatnya Bangkit
Indonesia tidak akan menjadi negara gagal—selama rakyatnya masih bersedia bergerak, menyuarakan kebenaran, dan mengorganisir diri.
Kuncinya ada pada kita: membangun kembali dari akar, membalik arah pembangunan yang hanya menguntungkan elite, dan merebut kembali ruang politik dan ekonomi untuk rakyat. Koperasi sejati, kedaulatan pangan, dan komunitas yang kuat adalah jalan keluar.
Indonesia tidak membutuhkan blueprint birokrasi. Indonesia membutuhkan keberanian rakyat. Sebuah gerakan yang tumbuh dari desa, dari ladang, dari dapur, dan dari pikiran serta hati yang jernih.
Di sanalah kebangkitan sejati berakar—dan dari sanalah Indonesia bisa kembali merdeka sepenuhnya, sebagai bangsa yang berdiri di atas kakinya sendiri. (*)