Imbas Covid–19, Prinsip Agent of Development, Sense of Extraordinary & Sense of Crisis Perlu Diimplementasikan
Denpasar – Sesungguhnya perbankan sejak didirikan mempunyai kandungan nilai (values) sebagai lembaga intermediasi yang memobilisasi dana untuk disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan nya untuk pembangunan dan kemajuan perekonomian suatu Negara. Jadi jasa yang ditawarkan ini dalam fungsinya sebaga lembaga intermediasi terkait erat dengan perekonomian masyarakat secara umum. Dengan demikian kegiatan bank dalam menghimpun dan menyalurkan kembali dana yang dihimpunnya tentu sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan disektor riil adalah sector yang bentuknya dapat dilihat secara fisik sebagai contoh antara lain usaha dagang pakaian, warung makan, jasa cuci mobil, dan banyak lagi yang lainnya. Sedangkan sector non riil adalah investasi pada sector keuangan yang produknya lebih tidak terlihat secara phisik.
Dalam studi ilmu ekonomi pembangunan disebutkan bahwa perekonomian suatu Negara dibangun atas dua sector yaitu sector riil dan sector moneter. Dalam hubungan dimaksud sector riil merupakan sector ekonomi yang ditumpukan pada sector manufaktur dan jasa. Sedangkan sector moneter ditumpukan pada sector perbankan. Dimana sector riil merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah dengan mengingat ekonomi nasional cenderung masih ditopang dengan sector konsumsi. Jadi dengan demikian sangat penting pemerintah dituntut mampu meningkatkan daya beli dengan memberikan stimulus yang tepat dan cepat guna pemulihan dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan adanya wabah pandemic covid -19.
Jadi kecepatan pemulihan sector riil yang menjadi pelakunya dominan Usaha Kecil Micro Kecil & Menengah (UMKM) yang paling awal terpuruk imbas wabah covid – 19. Pemulihan ekonomi akan lebih cepat juga tergantung pada paket kebijakan stimulus yang dikeluarkan pemerintah dibarengi dengan kecepatan dalam realisasinya. Sudah pasti harus mendapat dukungan dari perbankan nasional sebagai agen pembangunan dengan mengedepankan prinsip sense of extraordinary dan sense of crisis yang harus ditanamkan dalam jiwa setiap insan bankir sebagai way of life. Sebagai agen pembangunan setiap bank memiliki kewajiban untuk ikut turut serta dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bank juga merupakan agent ekuitas/permodalan (agent of equity) yang menyediakan bantuan permodalan.
Dimana masyarakat selain bisa menyimpan uang di bank bisa datang ke bank untuk meminjam untuk keperluan modal usaha. Bank sebagai agen terpercaya (agent of trust) harus selau bisa tampil sebagai badan usaha yang bisa dipercaya keberadaannya. Dengan adanya pandemic covid – 19 Presiden Joowidodo kembali menekankan pentingnya kepekaan dalam menghadapi krisis (sense of crisis). Demikian pentingnya memiliki perasaan bahwa situasi yang kita hadapi bukan situasi biasa namun luar biasa sehingga harus semua pihak memiliki sense of crisis dan menguatkan sense of extraordinary dalam menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi jangan sampai terjadi krisis social apalagi sampai terjadi krisis politik harus diupayakan untuk tidak terjadi dengan secepat cepatnya mengupayakan segera lenyapnya pandemic covid -19 dengan variannya dari muka bumi kembali kealamnya tidak pernak datang lagi mengganggu apalagi menyakiti.
Jadi dengan dimilikinya sense of crisis yang diartikan sebagai kepekaan, kewaspadaan dan kesiap siagaan yang direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis dengan tuntas ikan sepat ikan gabus ikan lele makin cepat makin bagus tidak bertele tele sehingga korban yang berjatuhan dapat diminimalisir demikian pula ekonomi dapat segera dipulihkan mengingat yang menjadi biang keroknya musibah ini terjadi karena wabah penyakit covid – 19 dengan variannya belakangan ini semakin menggila dan mengganas yang harus segera dituntaskan agar segera dapat disirnakan secara tuntas.
Mengingat demikian besar dan vitalnya peran perbankan dalam menggerakkan perekonomian nasional merupakan mesin pertumbuhan ekonomi terpenting dan utama di semua kegiatan ekonomi yang mempunyai berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dimana diketahui sebagai penggerak utama ekonomi nasional adalah konsumsi, invetasi serta kegiatan ekspor impor yang dapat dipastikan dengan jelas bahwa ketiga sector dimaksud perbankan memiliki peran dan keterlibatan yang sangat dominan.
Apa yang terjadi bila tidak memiliki lembaga keuangan bank dalam menggerakkan perekonomian nasional tentu tidak bisa mengabaikannya sector perbankan dalam mengelola potensi dari sektor konsumsi dan sektor investasi yang sangat tinggi kontribusinya yang mencapai kisaran jumlah 80%, yang dipastikan dimana perbankan berperan dominan disemua aktivitas perekonomian nasional dimaksud tanpa adanya lembaga keuangan bank yang memfasilitasi maka aktivitas perekonomian akan pincang dan pertumbuhan ekonomi diyakini bisa cenderung menjadi stagnan.
Tidak bisa diingkari bahwa menjadikan perbankan memiliki peran besar dalam perekonomian nasional yang juga memiliki peran utamanya sebagai lembaga intermediary yang berfungsi menghimpun dana dana dari masyarakat yang dikenal berupa dana pihak ketiga (DPK) dan menyalurkannya kembali ke masyarakat yang membutuhkan bantuan pinjaman (pembiayaan) berupa modal kerja atau berupa kredit investasi untuk menggerakan kelancaran sector konsumsi dan produksi dalam mendukung aktivitas perekonomian untuk bergerak simultan. Perbankan sebagai bagian utama dari sistem keuangan dalam operasionalnya mendapat pengawasan dan pembinaan dari Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas makro prudensial dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas mikropruden sial.
Sebagaimana kita ketahui BI sebagai otoritas makroprudensial memiliki tugas utama menjaga stabilitas moneter namun juga menjaga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Maka dalam mendukung pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan agar berjalan dengan positif dan kondusif dapat memberikan banyak peran yang berarti maka BI berusaha menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan yang tidak terpisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya saling mempengaruhi dimana stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter sedangkan kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan.
Keduanya harus dijaga supaya berjalan dan terjaga dalam kondisi normal agar jangan sampai terjadi ketidakstabilan. Mengingat bila terjadi ketidakstabilan pada sistem keuangan yang merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter maka transmisi kebijakan moneter akan terganggu dan tidak bisa berjalan normal. Demikian juga sebaliknya ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Dengan demikian mengingat tugas dan tanggung jawab BI sebagai Bank Sentral dalam memelihara stabilitas sistem keuangan hingga saat ini masih diemban nya.
Dengan memperhatikan demikian vitalnya peran dan kontribusi perbankan nasional sebagai suatu system keuangan dan alat transmisi dalam pembangunan ekonomi nasional yang mampu mencetak kinerja cemerlang, meskipun didera pelemahan ekonomi dengan melaksanakan fungsi intermediasi yang melahirkan bisnis simpan pinjam mampu meraup laba sebesar Rp.42,69 triliun selama 5 bulan ditahun 2013. Berdasarkan informasi keuntungan yang fantastis ini dapat diraih perbankan nasional kala itu tidak terlepas dari kemampuan bankirnya menekan beban bunga upaya tindakan ambil untung yang tidak disia siakannya kendatipun bergembira diatas penderitaan para nasabahnya kemungkinan dengan tidak memberikan bunga tinggi pada para deposannya atau dengan mempercepat penurunan suku bunga simpanan dan dilain pihak bunga pinjaman tidak segera atau ditahan untuk tidak diturunkan dalam beberapa bulan.
Namun jelas dengan demikian mampu menggeber pendapat bunga dari kredit yang disalurkannya membuat pendapatan bunga bersih naik 17% menjadi Rp.94,69 triliun. Berdasarkan data BI per Mei 2013 pendapatan bunga naik 12% menjadi Rp.176,40 triliun, karena kredit tumbuh 21% menjadi Rp.2.909,08 triliun. Kendatipun sesungguhnya para bankir sadar ada risiko akan munculnya kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bila bunga pinjaman tetap tinggi apalagi dilakukan kenaikan bunga pinjaman dalam meraup untung besar.
Berkaitan dengan ulasan seperti dikemukakan tersebut diatas mengingat peranan perbankan nasional, juga memperhatikan kinerjanya yang kinclong di tahun 2013 serta mengingat tugas dan tanggung jawab BI sebagai Bank Sentral dalam memelihara stabilitas sistem keuangan agar perekonomian berjalan kondusif dan bisa mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Maka OJK dan BI masing masing sebagai lembaga mikroprudensial dan makroprudensial dalam masa resesi ekonomi dampak dari wabah covid – 19 yang terus mengganas dan menggila berupaya menjaga dan mengapresiasi keberada an kondisi perbankan nasional tetap bisa berjalan normal dan tetap sehat tidak menjadi terganggu keberadaannya menjadi tetap terjaga tidak terulang kembali krisis keuangan yang berubah menjadi krisis perbankan sebagaimana yang terjadi di tahun 1998/1999.
Dengan menurunkan suku bunga acuan BI 7 DRR ketitik yang paling rendah sekaligus memberikan stimulus likuiditas yang sudah mencapai kisaran sebesar Rp.700 triliun yang bersumber dari berbagai kebijakan moneter yang diluncurkan BI sehingga perbankan terjaga likuiditasnya tidak kekeringan atau tidak kesulitan likuditas yang bisa membuatnya berguguran bangkrut yang membuat mengganggu stabilitas monter dan keuangan yang bermuara bisa menimbulkan krisis perbankan bisa membuat perekonomian nasional berada dalam suasana pandemic covid-19 semakin tidak kondusif, stagnan dan membahayakan dan bisa ambruk keberadaannya ini yang diupayakan oleh BI dan OJK dalam menjaga keberadaan perbankan agar berada dalam keadaan kondusif kendatipun dengan berlimpahnya likuiditas belum mampu melaksanakan fungsi intermediasinya secara baik dan produktif dengan menempatkan kelebihan dananya di BI dan pada instrument Surat Perbendaharaan Negara (SBN) berlindung mencari aman.
Gubernur BI berusaha keras berupaya menurunkan BI 7 DRR sebagai bunga acuan serendah mungkin agar diikuti oleh perbankan nasional menurunkan suku bunga pinjamannya menjadi rendah. Dimana BI belum lama ini telah menurunkan suku bunga acuannya BI -7DRR secara berulang ulang bila dihitung sejak Juli 2019, BI telah menurunkan suku bunga acuannya sebanyak 225 bps. Kendatipun sudah diturunkan membuat Gubernur BI Perry Warjiyo kesal dan menyesalkan karena perbankan menahan dan lambat menurunkan suku bunga kreditnya. Suku bunga pinjaman perbankan hanya turun tipis menjadi 9,80% pa.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pertemuan Tahunan BI 2020 secara vitual meminta perbankan segera menurunkan suku bunga dan percepat penyaluran kredit. Sementara itu Bos OJK heran, BI 7 DRR sudah turun namun suku bunga bank masih tinggi. Wimboh Santoso – Ketua Dewan Komisioner OJK meminta kepada para bankir perbankan nasional meminta jangan mengambil kesempatan ambil untung Net Interest Margin (NIM) ditengan pandemic covid – 19 yang terjadi menimpa kita. Gubernur BI Perry Warjiyo juga meminta perbankan nasional segera menurunkan suku bunga kreditnya.
Mengingat BI telah menurunkan suku bunga acuan sudah berada di level 3,50% yang sudah diturunkan sejak bulan April 2021. Namun tidak direspon dengan positif dan kondusif oleh pihak perbankan nasional dan baru kali ini terlihat Gubernur BI Perry Warjiyo nampak kesal dan geram dimana dalam kesehariannya tampak kalem dan tenang mungkin beliau gemes dan tidak tahan melihat kinerja para bankir perbankan nasional yang dipandangnya sangat mengecewakan tidak mengikuti harapannya sesuai dengan kebijakan moneter politik diskonto yang dikeluarkannya dengan berupaya menurunkan suku bunga acuan serendah mungkin. Sehingga dengan nada tinggi telah mengeluarkan umpatan yang sangat keras dan menohok dikutip dari Babe dengan mengatakan perbankan nasional benar benar brengsek sudah disuntik hampir Rp.700 triliun dan suku bunga acuan telah turun rendah menjadi 3,75% dan inflasi IHK (yoy) posisi 30 – 11 – 2020 terkendali rendah pada level 1,59%.
Namun bunga kredit masih mahal siapa yang mau memamfaatkan pinjaman bank dengan kondisi seperti itu apalagi disaat situasi abnormal (extraordinary) dampak pandemic covid – 19. Demikian sangat wajar dan beralasan sekali Guberrnur BI Perry Warjiyo demikian kesalnya terhadap para bankir perbankan nasional yang tidak mempunyai sense of crisis apalagi sense of extraordinary. Dengan demikian para bankir nasional perlu ditingkatkan agar mempunyai sense of crisis dan memiliki extraordinary leaders yang positif dan kondusif sebagai agent of development sehingga fungsi intermediasi bisa berjalan positif dan kondusif demi terjaga dan terapresiasinya keberadaan perbankan dan perekonomian kearah yang lebih baik. Bahkan BI 7 DRR sudah terus turun hingga April 2021 berada pada level 3,50% namun perbankan sepertinya bersikap cuek saja.
Dengan adanya wabah covid – 19 ini yang kedatangannya tidak ada yang mampu memprediksi kehadir-annya yang tidak saja mengancam jiwa manusia tetapi juga sangat memporak poranda perekonomian dunia dimana hampir semua Negara terjun kejurang resesi ekonomi yang sudah berjalan cukup lama dalam kisaran lebih dari setahun. Maka bila pandemik wabah covid – 19 tidak dapat dihentikan secepatnya tentu akan membawa korban jiwa manusia terus akan bertambah dan kesulitan ekonomipun tidak terhindarkan akan membawa derita yang berkepanjangan. Apalagi sampai resesi ekonomi bermetamorfosa menjadi depresi ekonomi dapat dibayangkan sangat menyengsarakan kehidupan masyarakat banyak dimana pemulihan ekonomi akan menjadi sulit memakan waktu lama yang menguras tenaga dan pikiran serta beaya yang tidak terkirakan.
Dengan hadirnya pandemic covid -19 membuat industri perbankan dalam dilematis dalam situasi yang sangat sulit mungkin sebagai hukum karma yang tidak menurunkan bunga pinjaman selama ini dan berfokus pada rezim suku bunga tinggi. Sehingga dengan demikian fungsi intermediasinya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak yang berkepentingan. Dengan tidak menyalurkan pinjaman dengan scenario rezim suku bunga rendah tetap gemaruk (rakus) dengan memberikan suku bunga tinggi. Sudah kehilangan perannya sebagai agen of development tidak memiliki sense of crisis apalagi sense of extraordinary dengan menerapkan suku bunga pinjaman yang tinggi padahal dilain pihak BI sudah menurunkan suku bunga acuan serendah rendahnya. Dengan adanya covid-19 menjadi mala petaka bagi semua pihak demikian juga bagi industri perbankan nasional sudah pasti kinerjanya memburuk tidak mampu menyalurkan kredit kepada dunia usaha yang juga lagi terpuruk hebat.
Dimana saat ini ratio pinjaman terhadap simpanan perbankan atau loan to deposit ratio (LDR) yang terinfo berada dikisaran level 80,66%. Jumlah LDR yang ideal untuk sebuah bank adalah 80% sampai 90%. BI telah menurunkan batas atas kisaran ketentuan LDR 78 – 100% menjadi 78 – 92%. Namun adanya kondisi kelimpahan likuiditas perbankan tidaklah berarti fungsi intermediasi perbankan berjalan dengan mulus dan lancar karena pihak perbankan terkendala dalam penyaluran kredit karena dampak covid – 19. Disamping itu juga tentu karena perbankan masih menerapkan bunga yang masih dirasa tinggi oleh para pengusaha yang juga lagi terpuruk.
Jadi masih tetap saja para bankir berperilaku selalu mengandalkan sumber pendapatan banknya dengan cara cara konvensional menerapkan rezim suku bunga tinggi sepertinya tidak jera dengan adanya hukum karma bahwa membebankan bunga tinggi akan berakibat buruk bagi bank itu sendiri. Apalagi disaat kondisi extraordinary masyarakat pengusaha yang banyak masih kesusahan yang memerlukan bantuan dan dukungan bantuan pembeayaan dengan bunga rendah dengan persyaratan yang lunak. Perbankan nasional masih tega berfokus mencari keuntungan yang sebesar besarnya bukan dari jumlah besarnya volune penyaluran kredit. Namun dari pola lama dengan menerapkan suku bunga tinggi yang disadarinya akan adanya hukum korelasi makin tinggi suku bunga pinjaman yang diberikan kepada para debeturnya maka potensi kredit bermasalah cenderung semakin tinggi jumlahnya.
Dengan adanya covid – 19 berharap paradigma pola kerja perbankan nasional berubah dengan mengedepankan perannya sebagai agent of development dengan memperkuat jajarannya semakin menjadikan sense of crisis dan sense of extraordinary dengan mengedepankan dan memperkuat extraordinary leadership sebagai way of life (sikap hidup) dalam melaksanakan fungsi intermediasi sehingga berkemampuan menggali potensi potensi yang feasible dibeayai dalam masa kondisi extraordinary dan terus bisa bertumbuh sebagai bank super jumbo yang sehat kokoh dan kuat.
Dengan demikian dijamin kedepan perbankan bertumbuh dengan mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional dan terjaganya stabilitas sistem keuangan perbankan menjadi tumbuh sehat dengan kondisi NIM, CAR, ROA, LDR, dan BOPO akan tercipta sesuai dengan ketentuan dan sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian berharap perbankan nasional tidak ada yang bangkrut yang bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan yang bisa meluluh lantakan perekonomian nasional semoga tidak terjadi pengulangan lagi seperti peristiwa yang terjadi pada masa krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang menimpa perekonomian nasional. Berharap pandemic covid – 19 dengan variannya segera sirna kembali kealamnya tidak pernah datang lagi mengganggu apalagi menyakiti sehingga situasi dan kondisi nasional bisa segera normal kembali dan lebih maju dari sebelumnya. Bravo Perbankan Nasional, BI dan OJK Onward no retreat.
Denpasar, 18 Juli 2021
Ida Bagus Kade Perdana
Ketua BANI Bali Nusra dan Wakil Ketua Umum Kadinda Prov Bali.
Mantan Dirut Bank Sinar Jreeeng … (Sekarang PT Bank Mandiri Taspen)