Ijazah, Forensik, dan Rakyat yang Tak Percaya
Oleh Agus Somamihardja, alumnus Asian Institute of Technology (AIT) Thailand dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
KASUS dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyeret dua institusi besar ke tengah pusaran kontroversi: Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Keduanya telah menyatakan bahwa ijazah tersebut asli. Namun sebagian rakyat tetap tidak bergeming. Mereka tidak percaya.
Masalahnya sebenarnya bukan semata soal keaslian dokumen, tapi tentang kepercayaan yang sudah lama terkikis.
Publik menyaksikan proses klarifikasi yang terasa terburu-buru, tertutup, dan tidak membuka ruang bagi kritik.
Alih-alih meyakinkan, pembelaan dari institusi justru menimbulkan kesan defensif dan sarat kepentingan.
UGM, sebagai lembaga pendidikan, dinilai sebagian kalangan telah kehilangan independensinya.
Suara akademik yang seharusnya berdiri tegak di atas kebenaran, kini dianggap larut dalam arus kekuasaan.
Bareskrim pun tidak luput dari kecurigaan. Sebagai bagian dari aparat negara, apapun pernyataannya kerap dibaca sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Padahal, penyelidikan Bareskrim terhadap ijazah Jokowi tidak dilakukan secara serampangan. Menggunakan pendekatan forensik ilmiah, mereka melakukan sejumlah uji fisik dan kimiawi terhadap dokumen:
Satu, umur kertas ijazah Jokowi diuji dan dibandingkan dengan tiga ijazah teman seangkatannya. Hasilnya: identik.
Dua, umur tinta juga diuji, dengan hasil yang serupa, tinta pada ijazah Jokowi memiliki usia yang sesuai dengan periode penerbitan.
Tiga, jenis dan usia tinta stempel UGM juga identik dengan ijazah pembanding.
Dalam ilmu rancangan percobaan, pendekatan ini sah: objek utama (ijazah Jokowi) dibandingkan dengan kontrol (tiga ijazah teman seangkatan).
Lalu diuji apakah parameter-parameter tersebut berbeda nyata secara statistik. Hasilnya: tidak.
Maka secara metodologis, Bareskrim menyimpulkan bahwa ijazah Jokowi dan tiga lainnya identik secara forensik.
Tentu kita boleh kritis. Namun perlu juga diakui bahwa penyelidikan semacam ini melibatkan ahli forensik, kimia, statistik, dan digital forensic, bukan sekadar narasi kosong.
Untuk menyimpulkan bahwa semua ini “rekayasa,” harus ada bukti tandingan yang setara ilmiahnya, bukan hanya dugaan atau asumsi viral.
Tapi tetap saja, mengapa banyak orang masih tidak percaya?
Jawabannya terletak pada ruang yang lebih dalam daripada sekadar dokumen. Ini soal emosi, sejarah, dan krisis kepercayaan yang belum selesai.
Dalam masyarakat yang pernah hidup di bawah rezim manipulatif, kecurigaan menjadi mekanisme bertahan. Apa pun hasil investigasi, sebagian akan tetap percaya bahwa semuanya sudah diatur dari awal.
Ditambah lagi, narasi alternatif di media sosial seringkali terasa lebih jujur dan “tidak diatur.” Maka walaupun bukti ilmiah tersedia, orang tetap mencari “kebenaran lain”, karena kesan lebih kuat daripada bukti.
Terlebih apalagi jika bukti itu datang dari lembaga yang dianggap telah kehilangan moral dan independensi.
Yang sedang diuji hari ini bukan hanya keaslian sebuah ijazah, tetapi integritas lembaga dan kemampuan negara untuk merawat kepercayaan rakyatnya.
Tanpa kejujuran, tanpa transparansi, dan tanpa kerendahan hati, bahkan kebenaran pun bisa terdengar seperti kebohongan. (*)