IHSG Jeblok 6%, Bos INA: Ada Beberapa Masalah di Pasar Saham RI

Jakarta – Pasar saham Indonesia dikejutkan dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga lebih dari 6 persen pada perdagangan sesi pertama, Selasa (18/3/2025). IHSG yang pada Selasa (18/3) itu dibuka di level 6.472 turun ke angka 6.076 atau merosot 6,12 persen di akhir perdagangan sesi pertama.

Hal itu sontak membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan pembekuan perdagangan sementara atau trading halt, yang menjadikannya kebijakan trading halt pertama dilakukan sejak 2020.

Secara sektoral, seluruh jenis saham mengalami koreksi pada Selasa, dengan penurunan dalam di sektor teknologi (-12,46 persen), sektor barang baku (-9,78 persen), dan energi (-6,24 persen).

Penurunan IHSG tersebut tak sejalan dengan kinerja beberapa pasar saham harian di bursa luar negeri. Bursa Jepang Nikkei, misalnya, tumbuh positif 1,4 persen, Bursa Hongkong Hangseng menghijau 1,8 persen. Sementara Bursa China Shanghai naik 0,1 persen, serta Bursa Amerika Serikat, seperti Dow Jones dan Nasdaq, masing-masing naik 0,85 persen dan 0,31 persen secara harian.

Banyak yang menilai bahwa anjloknya IHSG hingga 6 persen lebih itu dipicu oleh ketidakstabilan kondisi politik dan ekonomi dalam negeri, termasuk adanya kecenderungan kebijakan yang tidak propasar. Melihat fenomena jebloknya IHSG itu, Ketua Dewan Direktur Indonesia Investment Authority (INA), Ridha D.M. Wirakusumah memiliki pandangan berbeda. Ia menegaskan jika terdapat sejumlah kendala di pasar keuangan Indonesia.

“Pertama itu dari demand (permintaan). Ada peraturan bahwa dana pensiun negara itu tak bisa membeli saham karena kekhawatiran tertentu, sehingga dana pensiun private pun juga ikutan tak beli,” cetusnya dalam acara Business Vision in Global Divergences: Sharing from Visionary Leaders yang diadakan Infobank Media Group di Shangri La Hotel Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Menurutnya, sisi permintaan di pasar saham Indonesia memang masih kecil. Ia berharap, ke depannnya ada kebijakan atau regulasi baru yang bisa meningkatkan sisi demand di pasar saham, sehingga peluang partisipasi masyarakat dalam pasar saham Indonesia bisa menjadi lebih besar.

“Kenapa demand itu perlu? Karena untuk pembiayaan sebuah perusahaan, tak bisa melulu dari pinjaman. Harus ada juga dari ekuitas atau penyertaan,” bebernya.

Lebih lanjut, Ridha memberikan contoh kesuksesan negara India yang berlandaskan pada tiga faktor, yakni edukasi, digitalisasi, dan capital market. Oleh karena itu, ia menilai, melakukan perbaikan pada sistem pasar modal Indonesia adalah suatu keharusan.

Di samping itu, selain memperbaiki sisi permintaan, Indonesia juga harus memperbaiki sisi penawaran. Karakter banyak perusahaan Indonesia yang go public dengan porsi sedikit, hanya sekedar untuk mengamankan pajak atau saving tax, menjadi penyebab masih minimnya sisi penawaran di pasar saham Indonesia.

“Banyak perusahaan yang besar banget, sudah puluhan tahun di bursa kita, tapi listing-nya cuman 10 persen. Dimana-mana itu 30 persen, malah sudah ada yang jauh di atas itu. So, you need to fix the supply side too,” ungkap Ridha.

Situasi itu lantas menjadi jawaban atas banyaknya perusahaan-perusahaan bagus di Indonesia dengan porsi supply saham di bursa yang kecil. Perusahaan-perusahaan bagus di Indonesia yang bahkan mendapatkan tax incentive yang baik tersebut seharusnya diminta untuk me-listing dana lebih besar di bursa domestik.

Ridha lalu menyatakan optimismenya terhadap pasar saham Indonesia bila kedua faktor itu (demand dan supply) diperbaiki. Mengingat, pasar saham adalah bagian dari pengembangan suatu negara dalam skala besar. SW

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.