Filosofi di Balik Baju Garis Lurus Hitam Putih Capres Ganjar Pranowo
Jakarta— Sehari setelah Ganjar Pranowo mengungkapkan cerita di balik baju garis hitam putih yang ia kenakan di acara silaturahmi relawan 1 Muharam 1445 H di Senayan, saya mencoba mencari baju sejenis di Lippo Mall Karawaci.
Beberapa pengunjung mall juga mencari hal serupa.
Setelah ngubek-ngubek Matahari dan beberapa butik shop, saya menemukan di outlet Uniqlo. Baju garis hitam putih berbahan katun seharga Rp399 ribu itu cukup enak dikenakan. Sangat rekomended.
Di outlet lain, macam Alisan, meski harganya lebih terjangkau, tapi kurang cocok. Garis hitamnya terlalu lembut. Kurang tegas.
Bahannya juga bukan katun. Pun di counter Levi’s maupun brand lain yang lebih high, tak banyak pilihan motif.
Di sini saya tak akan bicara soal baju itu, tapi lebih soal filosofi di baliknya: kenapa Jokowi memilihkan uniform itu untuk Ganjar Pranowo, capres PDIP?
Menurut analisis saya, setelah ngobrol sana-sini dengan kader, relawan, dan timses, setidaknya ada dua hal yang menjadi triger.
Pertama, terkait munculnya dua sosok capres dari kubu nasionalis yang sama-sama mengusung visi serupa: meneruskan kepemimpinan Jokowi.
Ada Ganjar Pranowo di satu sisi, dan ada Prabowo di sisi lainnya. Dua capres ini sama-sama bertekad untuk meneruskan keberhasilan yang telah ditorehkan oleh Jokowi selama 8 tahun kepemimpinannya.
Keputusan untuk mengusung visi tersebut bukan tanpa dasar. Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi hingga mencapai 76,8% pada April 2023 adalah pijakannya. Itu tingkat kepuasan publik tertinggi terhadap kepemimpinan di dunia.
Secara kasat, jika pilpres digelar hari ini, mayoritas pemilih yang menilai positif kinerja Jokowi akan memilih capres yang di-endorse pria Solo itu. Firm.
Langkah Prabowo yang terus menempel Jokowi untuk mendapat stigma sebagai next leader yang didukung Presiden terbukti ampuh. Elektabilitasnya naik tinggi.
Langkah yang diikuti loyalis Prabowo yang membuat tingkat kepuasan atas kinerja Jokowi melampaui batas psikologis di belahan dunia mana pun: 81,9% per Juli 2023.
Kedua, fenomena “membelotnya” beberapa kader PDIP ke kubu Prabowo. Soft defected. Ada Effendy Simbolon dan Budiman Sujatmiko yang secara terbuka berani menunjukkan sikap politiknya.
Meski saya tahu sedikit cerita di balik sikap politik dua politisi langganan penghuni Senayan itu, aksi mereka cukup mengganggu Lenteng Agung dan berpotensi menyulut domino effect. Nama besar Budiman patut diwaspadai menimbulkan sistemik di kalangan milenial yang cukup dominan di DPT Pilpres 2023.
Uniform garis lurus hitam putih meng-counter dua hal itu. Sebagai Jawa, Jokowi cukup soft memberikan signal kepada capres mana endorse-nya diberikan. “Hitam putih, bukan abu-abu,” tegas Ganjar, di ujung ceritanya.
Dengan uniform itu, Jokowi sejatinya ingin mengatakan: bersikaplah secara tegak dan lurus, sudah jelas kok, hitam dan putihnya. (Darto Wiryosukarto)