Fakta Baru! Wamenkumham Beberkan 2 Versi Draft UU PPSK di Tangan Presiden
Jakarta— Sidang judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) terkait kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menyidik suatu perkara yang digelar Mahkamah Konsitutsi (MK), Selasa (29/8/2023) memasuki babak baru.
Di hadapan Hakim MK Arief Hidayat hadapan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengungkap, terdapat dua versi naskah draf Undang-Undang (UU) No. 4/2023 tentang PPSK yang masuk ke meja Presiden.
Versi pertama memberikan kewenangan mutlak kepada OJK dalam menyidik perkara, dan versi kedua menyebut kewenangan penyidikan oleh OJK adalah opsional.
Sidang judicial review tersebut diajukan Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 selaku Pemohon I, I Made Widia selaku Pemohon II, Ida Bagus Made Sedana selaku Pemohon III, dan Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati selaku Pemohon IV.
Keempat pemohon mengujikan Pasal 8 angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 angka 21 Pasal 49 ayat (1) huruf c UU P2SK. Pasal 49 ayat (1) huruf c UU P2SK yang berbunyi; Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas: … c. pegawai tertentu, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Pada Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menyatakan bahwa Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK.
Sebelumnya, Hakim MK Arief Hidayat mendesak kepada para pihak untuk memberikan keterangan yang jujur. Ia meminta agar masih-masih pihak, baik pemerintah, polisi, maupun OJK tidak mementingkan ego sektoral.
“Jangan memikirkan, ini lho sektor keuangan, OJK yang paling anu. Polisi juga jangan malu-malu, yang benar itu begini. Nah, pemerintah juga begitu. Karena apa? Kalau ada ego sektoral, kemudian saling tertutup, tidak dibuka di dalam persidangan, Mahkamah itu nanti juga punya dosa karena memutusnya keliru, tidak untuk kepentingan bangsa dan negara,” kata Arief Hidayat dikutip dari risalah sidang MK, Selasa (29/8/2023).
Mendengar ucapan hakim, Edward akhirnya membongkar bahwa sebenarnya terjadi drama hukum pada menit-menit terakhir penandatanganan naskah sebelum disahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Usai DPR mengesahkan RUU menjadi UU, kemudian naskah dikirim ke Istana Negara. Berdasarkan UUD 1945, RUU maksimal menjadi UU setelah melebihi 30 hari. Ternyata, ada dua versi naskah yang dikirim ke Presiden.
“Ada dua versi undang-undang ini, yang satu Pasal 49 ayat (5) itu berbunyi, ‘dapat’ dilakukan penyidikan oleh OJK, tapi satu naskahnya berbunyi ‘hanya dapat’ dilakukan oleh penyidik OJK,” beber Edward.
Seketika mengetahui terdapat dua versi naskah, Edward langsung menelusurinya. Kemudian, pemerintah langsung menggelar 3 kali rapat terbatas. Ia pun mengaku ditanyai oleh Jokowi.
“Saya katakan bahwa pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 karena Pasal 30 ayat (4) menyatakan polisi memegang kekuasaan penegakan hukum. Polisi sebagai pemegang kekuasaan penegakan hukum tidak lain dan tidak bukan dalam konteks hukum pidana, dia sebagai penyidik, dalam integrated criminal justice system di seluruh dunia tidak ada yang namanya selain polisi, jaksa, hakim, dan advokat,” jelasnya.
Edward bilang, keberadaan penyidik pegawai negeri sipil ataupun penyidik tertentu bertindak sebagai supporting system di mana pihak tersebut memiliki kewenangan menyidik, tapi tidak menghilangkan kewenangan Polri untuk melakukan penyidikan.
Di dalam rapat terbatas yang digelar pemerintah, ia menyebut telah menyampaikan kepada Jokowi, jika naskah itu disahkan, maka akan berimplikasi terhadap kurang-lebih 400 perkara yang sedang ditangani oleh Bareskrim.
“Karena Bareskrim tentunya sudah melakukan penahanan, melakukan pemblokiran, penyitaan, dan lain sebagainya. Kalau undang-undang ini serta-merta berlaku, berarti kan penahanan, penyitaan yang telah dilakukan oleh Bareskrim itu dia kehilangan kekuatan’,” kisah Wamenkumham.
Berangkat atas pertimbangan itu, Wamenkum selanjutnya mengusulkan diterbitkannya PP Nomor 5 Tahun 2023. Kata dia, PP ini ibarat ‘pintu darurat’ untuk menyelamatkan perkara-perkara yang ada di Bareskrim pada saat itu.
“Tetapi saya sadar penuh kalau PP ini diuji di Mahkamah Agung, pasti dibatalkan karena PP itu bertentangan dengan Pasal 49 ayat (5),” sambungnya.
Hasil rapat terbatas itu akhirnya memutuskan bahwa selesai naskah UU PPSK disahkan, pihaknya dan Polri akan mengajukan uji materi di MK. Sebab naskah UU. Namun, sebelum Polri mengajukan uji materi atas Pasal 49 ayat (5), itu, ternyata ada sejumlah pihak yang menguji pasal ini.
Di waktu yang sama, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengingatkan kembali kepada semua pihak untuk tidak menutupi fakta yang terjadi agar MK dapat menilai secara komprehensif dan konstitusionalitas atas pasal tersebut. (*)