DPR Minta Kemenlu Selesaikan Polemik Proyek Kedubes India 18 Lantai
Jakarta – Komisi I DPR RI meminta Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menjadi mediator untuk menyelesaikan polemik proyek pembangunan Kedutaan Besar (Kedubes) India setinggi 18 lantai di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta.
Permintaan Komisi I DPR RI tersebut disampaikan saat menggelar rapat kerja perdana dengan Menteri Luar Negeri, Sugiono, pada Senin (2/12/2024).
Rapat membahas dua agenda penting, yaitu rencana program kerja 100 hari Kemenlu dan sejumlah isu-isu aktual. Rapat digelar di ruang Komisi I DPR RI, Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Rapat dibuka oleh Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto. Selanjutnya, dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Budisatrio Djiwandono.
Ketika membahas terkait isu-isu aktual, anggota Komisi I dari Partai Nasdem, Andina T. Narang, menyoroti soal polemik pembangunan kantor Kedubes India di Kuningan, Jakarta.
“Saya melihat, ramai pemberitaan di media online, mengenai konflik antara warga sekitar dengan kedutaan besar India, terkait pembangunan kantor atau Gedung Kedutaan Besar India di Indonesia,” kata Andina kepada Menlu Sugiono.
Lebih lanjut, anggota DPR dari Dapil Kalimantan Tengah tersebut berharap agar Kemenlu dapat menjadi fasilitator atau mediator, mencari solusi bersama, agar polemik antara warga dan Kedubes India ini segera berakhir.
“Saya cuma berharap Bapak bisa menjadi fasilitator, pastinya, dan bisa mengurai masalah dengan melakukan pendekatan persuasif, sehingga permasalahan ini tidak berkelanjutan, tidak ramai di media,” katanya.
Hal itu, lanjut Andina T. Narang, untuk menjaga hubungan baik antara pemerintah Indonesia dan India.
“Kita harapkan masalah ini bisa cepat selesai, untuk menjaga harmonisasi hubungan kita yang baik dengan India,” ujarnya.
Rapat dihadiri pimpinan Komisi I DPR RI, Utut Adianto sebagai ketua, dan sejumlah Wakil Ketua; Budi Djiwandono, Ahmad Heryawan, Dave Laksono dan Anton Sukartono Suratto.
Sementara Menlu Sugiono didampingi oleh Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir dan Wamenlu Anis Matta.
Wamenlu Arif Havas Oegroseno berhalangan hadir dalam rapat karena sedang berada di Eropa untuk menjalankan tugas.
PTUN PUTUSKAN HENTIKAN PROYEK KEDUBES INDIA
Diberitakan sebelumnya, pengacara warga Kuningan terdampak pembangunan Kedubes India, David Tobing, menyebut bahwa proyek pembangunan Kedubes India itu sudah sejak awal ditolak warga sekitar.
Bahkan, warga telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dalam putusannya pada 29 Agustus 2024, PTUN mengabulkan gugatan warga. Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengajukan banding.
“Dari awal warga sudah menolak, karena tidak dilibatkan dalam proses perizinan. Inilah potret proyek pembangunan skala besar yang mengabaikan proses yang benar,” ujar David Tobing saat dihubungi wartawan, Kamis (27/11/2024) lalu.
Dikatakan David, pembangunan Gedung Kedutaan Besar India ini memang sudah berbekal Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta.
Namun proses keluarnya PBG itu banyak terdapat kejanggalan. Karena itu, warga mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan nomor perkara 93/G/2024/PTUN.JKT.
Gugatan ini meminta pembatalan izin PBG karena dianggap melanggar hukum dan tidak melalui prosedur yang benar, khususnya terkait izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
David menjelaskan, PBG adalah Persetujuan Bangunan Gedung, atau perizinan yang dikeluarkan pemerintah untuk membangun, merenovasi, merawat, atau mengubah bangunan gedung.
Dalam kasus pembangunan Gedung Kedubes India di Jakarta, izin PBG direkayasa sedemikian rupa, sehingga bisa keluar meski tanpa persetujuan warga sekitar.
Warga menduga ada manipulasi dalam penerbitan izin PBG, termasuk perbedaan tanda tangan pejabat pada dokumen PBG.
David juga menyoroti ketidaksesuaian proses administratif dalam penerbitan izin. Kemudian, ketiadaan AMDAL dan Izin Lingkungan.
David menyebut, proyek ini dilakukan tanpa izin AMDAL yang sah dan tanpa persetujuan tertulis dari warga terdampak, yang seharusnya menjadi persyaratan dalam proses perizinan pembangunan.
“Yang paling utama tidak ada keterlibatan Warga. Warga merasa bahwa mereka tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan perizinan, sehingga hak mereka sebagai warga yang terdampak langsung tidak dihormati,” tegasnya. DW