Destabilisasi Internal, Ketaklinieran dalam Kekuasaan

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.

DALAM dunia politik linear, kesalahan kebijakan umumnya dipahami sebagai akibat dari keterbatasan kapasitas, ketidaksempurnaan informasi, atau kompleksitas tata kelola. Namun, dalam situasi tak linear, kesalahan tidak selalu lahir secara tidak sengaja.

Terdapat fenomena yang dapat disebut sebagai intentional misgovernance sebagai praktik menyengajakan terjadinya kesalahan dalam proses pemerintahan sebagai bagian dari strategi politik internal.

Fenomena ini muncul dalam situasi pemerintahan yang ditandai oleh rivalitas elite yang tajam, fragmentasi kekuasaan, serta lemahnya kohesi di antara aktor-aktor utama negara. Dalam konteks demikian, kesalahan bukan sekadar kegagalan teknokratis, melainkan alat politik untuk menciptakan ketidakstabilan, menggerus kepercayaan publik, dan pada akhirnya mendeligitimasi pemimpin utama pemerintahan.

Rivalitas Internal dan Logika Konflik Elite

Kekuasaan negara sekarang ini jarang bersifat monolitik. Pemerintahan modern terdiri dari berbagai faksi, kepentingan, dan jaringan kekuasaan yang sering kali saling bersaing. Rivalitas ini dapat bersifat ideologis, personal, ekonomi, maupun berbasis kontrol terhadap sumber daya strategis negara.

Dalam situasi rivalitas yang intens, sebagian aktor dalam pemerintahan tidak lagi berorientasi pada keberhasilan kolektif, melainkan pada kalkulasi kekuasaan jangka menengah dan panjang. Ketika pemimpin utama dianggap sebagai hambatan bagi ambisi kelompok tertentu, maka strategi untuk melemahkannya menjadi rasional secara politik, meskipun destruktif secara institusional.

Kesalahan yang Disengajakan sebagai Strategi Delegitimasi

Kesalahan yang disengajakan biasanya tidak dilakukan secara terang-terangan. Ia muncul dalam bentuk keputusan yang tampak administratif, kelalaian birokratis, atau kebijakan ambigu yang berpotensi menimbulkan dampak negatif luas. Strategi ini disebut sebagai kesalahan yang diarahkan agar tanggung jawab publik jatuh pada figur tertentu.

Melalui mekanisme ini, pemimpin penanggung jawab diposisikan sebagai pihak yang “gagal memimpin”, “tidak kompeten”, atau “tidak peka terhadap situasi”. Padahal, kesalahan tersebut sering kali merupakan hasil dari sabotase halus, penahanan informasi, atau manipulasi implementasi kebijakan oleh aktor-aktor internal yang memiliki kepentingan rivalistik.

Baca Juga...

Produksi Ketidakstabilan

Ketidakstabilan sosial-politik tidak selalu muncul secara spontan. Ia sering kali adalah hasil dari akumulasi kesalahan kebijakan yang berulang dan saling terhubung. Ketika publik menyaksikan kegagalan demi kegagalan, persepsi krisis mulai terbentuk, meskipun krisis tersebut tidak sepenuhnya struktural.

Ketidakpastian yang berulang menciptakan rasa cemas kolektif. Masyarakat mulai mencari figur yang dapat dipersalahkan sebagai penyebab utama kekacauan. Pada titik inilah narasi kesalahan diarahkan secara sistematis kepada pemimpin penanggung jawab dalam pemerintahan sebagai simbol sentral kekuasaan.

Narasi Publik sebagai Medan Pertarungan Kekuasaan

Narasi memiliki peran krusial dalam menentukan siapa yang dipandang bersalah dan siapa yang tampak sebagai solusi. Dalam konteks rivalitas internal, narasi tentang “pemerintahan yang sudah tak relevan”, “kepemimpinan yang lelah”, atau “arah negara yang keliru” disebarkan secara simultan melalui berbagai kanal formal dan informal.

Yang menarik, aktor-aktor yang terlibat dalam produksi kesalahan dalam hal ini ialah pemilik otoritas dalam kekuasaan itu sendiri. Mereka membuat kebijakan-kebijakan yang dipandang kebijakan anomali. Di sinilah narasi bisa bekerja sebagai alat pengaburan tanggung jawab struktural.

Normalisasi Gagasan Penggantian Kepemimpinan

Tahap lanjutan dari strategi ini adalah normalisasi gagasan bahwa pergantian pemimpin penanggung jawab ialah kebutuhan objektif, bukan ambisi politik. Publik diarahkan untuk percaya bahwa ketidakstabilan bukan akibat konflik elite, melainkan akibat personalisasi kegagalan pada satu figur.

Proses ini disebut persetujuan publik yang dibentuk melalui repetisi narasi, bukan melalui deliberasi rasional yang jujur. Pergantian kepemimpinan kemudian tampak sebagai solusi alamiah, bahkan mendesak, terhadap krisis yang sesungguhnya direkayasa.

Implikasi terhadap Tata Kelola dan Institusi Negara

Strategi menyengajakan kesalahan memiliki dampak jangka panjang yang serius terhadap institusi negara. Ketika kesalahan dijadikan alat politik, prinsip akuntabilitas berubah menjadi instrumen manipulatif. Birokrasi kehilangan orientasi pelayanan publik dan beralih menjadi arena pertarungan loyalitas.

Dalam jangka panjang, negara mengalami erosi kapasitas institusional. Keputusan tidak lagi diambil berdasarkan efektivitas kebijakan, melainkan berdasarkan potensi politiknya. Hal ini menciptakan siklus destruktif, di mana setiap pemimpin berpotensi menjadi korban berikutnya dari rekayasa kesalahan serupa.

Demokrasi yang Terperangkap dalam Konflik Internal

Dalam sistem demokrasi, fenomena ini sangat berbahaya karena merusak fondasi kepercayaan publik. Demokrasi mensyaratkan kompetisi yang terbuka dan adil, bukan sabotase internal yang disamarkan sebagai kritik kebijakan. Ketika konflik elite diselesaikan melalui destabilisasi, demokrasi berubah menjadi arena intrik, bukan deliberasi.

Lebih jauh, publik yang terus-menerus disuguhi kegagalan akan mengalami kelelahan politik (political fatigue). Partisipasi menurun, sinisme meningkat, dan ruang bagi otoritarianisme justru terbuka dengan dalih stabilitas dan ketertiban.

Etika Kekuasaan dan Tanggung Jawab Kepemimpinan

Menyengajakan kesalahan menciptakan sisi gelap praktik kekuasaan tak linear. Ia menunjukkan bahwa ancaman terhadap stabilitas tidak selalu datang dari luar, melainkan sering tumbuh dari konflik internal yang tidak dikelola secara etis dan institusional.

Dalam perspektif logis, fenomena ini menegaskan pentingnya etika kekuasaan, transparansi internal, dan mekanisme resolusi konflik elite yang sehat. Tanpa itu, pemerintahan akan terus terjebak dalam siklus destabilisasi yang merugikan publik, sementara rivalitas kekuasaan justru semakin menguat di atas puing-puing kepercayaan masyarakat.

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.