Dari Banjir Kayu Gelondongan Menuju Negara Manipulatif

Oleh Darto Wiryosukarto, Managing Editor The Asian Post

GUS Ipul (Mensos Saifullah Yusuf) tentu tidak sedang bercanda. Saat bilang penggalangan donasi bencana harus izin dulu ke pemerintah. Ke Dinsos untuk level kabupaten/kota. Atau Kemensos untuk skala nasional.

Meski akhirnya diralat—setelah didebat keras publik, intinya tetap sama: wajib lapor.Kok bisa ya kepikiran bicara begitu.

Bukannya mengapresiasi masyarakat yang bergerak spontan. Mengumpulkan donasi saat darurat bencana “banjir gelondongan” Sumatera. Eh, malah bicara prosedural. Ini seperti melihat bocah sedang keselek tutup botol tumbler.

Alih-alih langsung menolong. Malah menggelar workshop dulu: “Membedah Manfaat & Bahaya Botol Tumbler & Tutupnya Bagi Generasi Aplha”. Mending sampeyan diem aja, Gus. Seperti perjalanan kariermu.

Sejak jadi anggota DPR, Sekjen PKB, Sekjen PBNU, Menteri PPDT, Wagub Jatim, Walikota Pasuruan, hingga Mensos. Sampeyan justru (terlihat) sukses dengan diem aja. Atau cukup pringas-pringis, seperti gaya khasmu itu, timbang bicara, dan ngaco.

Tapi, sengaco-ngaconya Gus Ipul, ternyata masih ada yang lebih ngaco: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dengan Perkap/Perpol Nomor 10 Tahun 2025, dia merasa cukup legal untuk menempatkan anggota polisi aktif di 17 jabatan sipil di negeri ini.

Padahal, jika merujuk pada argumen pakar hukum tatanegara Prof. Mahfud MD, setidaknya ada dua undang-undang yang dilabrak Jenderal Listyo: UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No 20 Tahun 2023 tentang ASN.

Dua UU ini diperkuat dengan putusan MK No 114 Tahun 2025 yang melarang anggota polisi aktif duduk di jabatan sipil.

Tapi apa lacur? Jenderal Listyo tetap jalan terus dengan pendapatnya sendiri. Padahal kita sudah sepakat, keputusan MK adalah final dan binding.

Final dan mengikat. Berkekuatan hukum tetap. Tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh terhadapnya.

Tapi, dengan Perpol No 10 Tahun 2025, Kapolri “mengangkanginya”. Kapolri mengkudeta MK.

Apa karena MK pernah membuat keputusan konyol yang membuat Gibran bisa duduk di kursi Wapres RI, sehingga kemudian keputusannya bisa diabaikan?

Ntahlah! Yang pasti, meski pelan, kita seperti sedang menuju ke negara manipulatif.

Negara yang dijalankan dengan suka-suka. Negara yang mengabaikan perasaan, empati, kepatutan, dan kebutuhan publik. Pejabatnya boleh berbuat sesukanya, seolah rakyatnya tak ada.

Kalau pun ada, seolah semua ber-IQ 78. Atau, jangan-jangan, ini bagian dari arus balik untuk menjatuhkan wibawa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Sebab, Prabowo mempunyai mimpi besar untuk negeri ini. Mimpi indah, tapi hampir bisa dipastikan banyak musuhnya: menghajar tiga pelaku shadow economy—judi, narkoba, korupsi.

Ada duit besar di situ. Sangat besar. Tentu, tak semudah itu menyikat mereka, Ferguzo! (*)

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.