Jakarta – Dasar seniman. Tak cukup meniup lilin dan memotong kue tart untuk memperingati hari lahirnya. Seperti Noorca M Massardi dan Yudhistira ANM Massardi, si kembar kelahiran Subang, 28 Februari 1954 ini.
Memasuki tahun ke-70 kehadirannya ke muka bumi ini, Noorca dan Yudhis yang sama-sama aktif di dunia kepengarangan dan kesusastraan, ini merayakannya dengan menggelar perhelatan sastra. Ada empat mata acara yang akan digelar sebagai penanda mereka akan meninggalkan usia 69 tahunnya.
Keempat acara tersebut yaitu; Peluncuran buku puisi “Dari Paris Untuk Cinta” Karya Noorca M. Massardi dan “Kita Seperti Dedaun” Karya Yudhistira A.N.M. Massardi; Diskusi buku bersama Seno Gumira Ajidarma dan Maman Mahayana; Pembacaan puisi oleh para tokoh; dan musikalisasi puisi oleh Soloensis dan kelompok Gayatri.
Bertajuk “Perayaan 70 Tahun Cinta dan Kreativitas Si Kembar Massardi” perayaan akbar tersebut akan digelar di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, West Mall Grand Indonesia lantai 8, pada tanggal 28 Februari 2024.
Dua buku puisi terbaru yang diluncurkan oleh Noorca dan Yudhis masing-masing memuat 70 puisi di dalamnya. Maman Mahayana, yang mengulas buku puisi Yudhistira Massardi, menyatakan jika mencermati keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku ini, Yudhistira tampaknya tidak termasuk golongan meminjam istilah Rendra— penyair salon.
“Ia tidak teralienasi dari problem yang muncul di lingkungan masyarakatnya. Yudhistira juga tidak asyik-masyuk tenggelam dalam perburuan model estetik untuk kepentingan puisi itu sendiri atau bahkan menawarkan metafora yang maknanya terkunci di lemari besi!” tulis Maman dalam ulasan di buku “Kita Seperti Dedaun” Karya Yudhistira A.N.M. Massardi.
“Meskipun puisi-puisinya tidak lantang menyuarakan kemarahannya atau setidak-tidaknya, kenceng menyampaikan kritik sosial, ia merasa terpanggil untuk menyuarakan pesan-kemanusiaannya,” tambah Maman.
Adapun Seno Gumira Ajidarma, yang mengulas buku Noorca Massardi, mengatakan, kumpulan puisi Noorca laksana sebuah memoar. Dalam rumusan yang lebih canggih, memoar adalah kenangan-kenangan bertumbuh dan berkembang, atawa peristiwa-peristiwa yang dengan suatu cara berakibat kepada penulisnya.
“Cinta yang menjadi inti kumpulan sajak Noorca ini tidak sekadar diungkap dalam metafor, tetapi menjadi dunia yang dihidupi, dunia cinta, tempat apa pun itu, subjek apa pun itu, makanan apa pun itu, kehadirannya hanya relevan dalam kerangka cinta,” kata Seno mengenai buku “Dari Paris Untuk Cinta” karya Noorca.
Dalam catatan The Asian Post, Noorca dan Yudhis, lahir, tumbuh, berkembang dan terus menyumbang untuk konstelasi sastra Tanah Air melalui jalan yang identik. Situs kreativitas keduanya terentang di jalur yang sama; jurnalistik,
kepenyairan dan dunia sinema.
Karya-karya Yudhis, untuk menyebut sedikit di antaranya; novel “Arjuna Mencari Cinta” (1977), dan kumpulan puisi “Sajak Sikat Gigi” (1983) banyak mendapat respons pembacaan menarik dari sisi isu yang diangkat hingga pilihan pendekatan kesusastraannya.
Sementara Noorca, memulai kiprah kepengarangannya melalui pintu jurnalistik dan pertunjukkan-pertunjukkan drama. Sejumlah lakon drama yang ditulis Noorca, antara lain; “Perjalanan Kehilangan” (1974) dan “Terbit Bulan Tenggelam Bulan” (1976) telah menandai periode awal kredibilitas
kepengarangannya dengan meraih penghargaan sayembara penulisan lakon dari Dewan Kesenian Jakarta.
Karya novel Noorca berjudul “September” (2006) yang terinspirasi dari Tragedi September 1965 banyak didiskusikan sebagai pemeriksaan fiksional, di antara begitu banyak pendekatan pemeriksaan terhadap peristiwa sejarah 30 September hingga 1 Oktober 1965. DW
You might also like