Bukan Danantara, SWF Ini Telah Berkembang Pesat di RI

Jakarta – Perbincangan soal sovereign wealth fund (SWF) adalah salah satu isu hangat di tengah masyarakat Indonesia saat ini. Pendirian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara Indonesia menjadi pemicunya. Namun, sebelum Danantara berdiri, Indonesia sebenarnya sudah memiliki institusi SWF, yakni Indonesia Investment Authority (INA) yang telah beroperasi sejak 2021.

Ridha D.M. Wirakusumah yang didapuk menjadi Chief Executive Officer (CEO) atau Ketua Dewan Direktur Indonesia Investment Authority sejak Februari 2021, membocorkan berbagai pencapaian yang telah dicapai pihaknya selama 994 hari INA berdiri.

Ridha menerangkan, INA memulai perjalanannya sebagai sovereign wealth fund dengan dana sebesar Rp75 triliun atau USD5 miliar. Selama 994 hari INA berdiri, INA telah mengembangkan dana Rp75 triliun itu menjadi hampir Rp145 triliun, atau meningkat 2 kali lipat.

“Dimana kita sudah berinvestasi sekitar Rp65 triliun atau USD4 miliar. 90 persen lebih itu dari asing, dan sisanya dari modal kita. Kita sudah ada komitmen investasi Rp400 triliun lebih. Kita juga sudah di-rate oleh Fitch dimana sama kuatnya dengan Indonesia, yakni triple B,” jelasnya dalam acara Business Vision in Global Divergences: Sharing from Visionary Leaders yang diadakan Infobank Media Group di Shangri La Hotel Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Dana yang ada diinvestasikan pada berbagai sektor di Indonesia, antara lain transportasi dan logistik, digitalisasi dan digital infrastruktur, green energy, healthcare, serta sektor lainnya seperti properti, tourism, layanan finansial, pangan dan agrikultur, tambang (mining, oil, and gas), engineering dan konstruksi, hingga elektronik.

Di sektor transportasi dan logistik, INA telah berkontribusi pada pembangunan jalan tol di Indonesia sepanjang lebih dari 1.000 kilometer, dimana telah dilewati sekitar 3 juta kendaraan setiap bulannya. Ini sekaligus menjadikan INA sebagai pemilik atau pemegang saham jalan tol terbesar ketiga di Indonesia.

Di samping itu, INA turut membangun pelabuhan di Indonesia dengan kapasitas 1,5 juta TEU/SSDPK (twenty-foot equivalent unit/satuan setara dua puluh kaki). Kemudian, modern warehouse atau pabrik modern yang terdiri atas tiga properti dengan total luas sekitar 200.000 meter persegi (sqm).

“Kita punya pelabuhan bersama DP World di Medan. Kalau jalan tol itu adalah dari lembaga dana pensiun Belanda, APG selaku salah satu SWF terbesar. Lalu, kita juga membangun logistik bersama Mitsubishi,” ungkap Ridha.

Dalam hal digitalisasi dan infrastrukturnya, INA telah membangun data center dengan kapasitas sebesar 74 megawatt, 38.000 menara telco, 33.000 kilometer fiber, serta digital aplication dengan 55 juta lebih pengguna aktif bulanan dan 2 juta lebih partner vendor.

“Kita membangun data center di Batam dengan jumlahnya sepertiga kapasitas dari Indonesia. Fase satu sudah selesai, fase dua tiga bulan lagi selesai, fase tiga mungkin setahun lagi selesai, dimana 100 persen dari kapasitas itu sudah laku. Kita sekarang juga pemilik telco tower terbesar di Indonesia,” tutur Ridha.

Sedangkan di bidang green energy, pihaknya membangun geothermal energy dengan kapasitas 395 GWh per bulan, serta 0,3 mtCO2eq offset per bulan. Pada sektor kesehatan atau healthcare, INA mendirikan 73 rumah sakit dan retail pharma yang menarik jumlah transaksi sebanyak 3,3 juta lebih transaksi per bulan. Dimana ada 74 laboratorium, 1.250 apotek, dan 380 klinik kesehatan.

Lalu, ada juga pembangunan blood plasma fractionation atau fragsi plasma darah sebanyak 600.000 liter per tahun. Ia mengatakan, Palang Merah Indonesia (PMI) mengumpulkan darah sebanyak 4 juta liter setiap tahun, tetapi yang dipakai hanya darah merahnya saja.

“Dan kita itu kalau ada kecelakaan atau operasi perlu darah, itu semuanya impor. Malahan waktu Covid, kita tidak punya Imunoglobulin (protein sel darah putih). Jadi, kesulitan,” terang Ridha.

Bahkan, saat ini, pihaknya tengah membangun pabrik blood plasma fractionation di Karawang dimana pembangunannya sudah mencapai tahap 60 persen, dan diprediksi selesai pembangunannya pada bulan November tahun ini.

Dengan adanya pabrik blood plasma fractionation yang dibangun berkolaborasi dengan SK Group dari Korea Selatan, pihaknya optimistis akan menjadi eksportir plasma darah, dari sebelumnya yang adalah importir darah. Plasma darah ini, pihaknya kumpulkan dari PMI dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh Indonesia.

“INA dibangun untuk bagaimana kita tak menaikkan utang negara, bagaimana kita mengundang foreign direct investment, dan bagaimana kita meningkatkan financing capacity,” pungkas Ridha. SW

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.