Bos INA Ungkap Rahasia Sukses Kelola SWF, Dananya Terus Tumbuh

Jakarta – Perubahan adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Begitulah kata banyak orang. Situasi kehidupan di dunia pasti akan terus berubah mengikuti perkembangan zaman yang ada. Meskipun demikian, perubahan yang niscaya itu tak sepatutnya membuat kita tertekan.

Justru, kitalah sebagai manusia yang harus dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada, sebagaimana diungkap Ketua Dewan Direktur Indonesia Investment Authority (INA), Ridha D.M. Wirakusumah dalam acara Business Vision in Global Divergences: Sharing from Visionary Leaders yang diadakan Infobank Media Group di Shangri La Hotel Jakarta, Kamis (20/3/2025).

“The world is changing, but do we need to feel sad bahwa the world is changing? I think we need to be adaptive, I think we need to adjust, gitu loh,” ucap mantan Direktur Utama Permata Bank yang juga jebolan Citi Banker ini.

Ia melanjutkan bahwa apa yang terjadi di dunia saat ini adalah kenyataan baru yang tak bisa dipungkiri. Sebagai pemimpin, Ridha melihat setiap perubahan, entah itu di bidang media, politik, atau ekonomi, sebagai sesuatu yang kita perlu ketahui perkembangan perubahannya.

Akan tetapi, kita tidak perlu merasa tertekan atas perubahan yang terjadi. Sebaliknya, lakukanlah adaptasi dan perubahan sikap untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Maka dari itu, baginya, kerja pintar saja tak cukup untuk beradaptasi di zaman sekarang. Diperlukan pula kerja keras yang jalan beriringan dengan kerja pintar untuk menciptakan inovasi atau perbedaan.

“Hard work and smart work has to go hand in hand. You can’t just work smarter, you also need to work harder and smarter,” tegasnya.

Ia kemudian mengisahkan bagaimana Indonesia Investment Authority (INA) sebagai salah satu lembaga sovereign wealth fund (SWF) yang dimiliki Indonesia di bawah kepemimpinannya. Ridha yang diangkat menjadi Ketua Dewan Direktur atau Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Investment Authority sejak Februari 2021 itu telah melakukan banyak terobosan dalam kepemimpinannya di INA.

Salah satunya ialah pembangunan blood plasma fractionation atau fragsi plasma darah sebanyak 600.000 liter per tahun. Ia mengatakan, Palang Merah Indonesia (PMI) mengumpulkan darah sebanyak 4 juta liter setiap tahun, tetapi yang dipakai hanya darah merahnya saja.

“Dan kita itu kalau ada kecelakaan atau operasi perlu darah, itu semuanya impor. Malahan waktu Covid, kita tidak punya Imunoglobulin (protein sel darah putih). Jadi, kesulitan,” terang Ridha.

Bahkan, saat ini, pihaknya tengah membangun pabrik di Karawang dimana pembangunannya sudah mencapai tahap 60 persen, dan diprediksi selesai pembangunannya pada bulan November tahun ini.

Dengan adanya pabrik blood plasma fractionation yang dibangun berkolaborasi dengan SK Group dari Korea Selatan, pihaknya optimistis akan menjadi eksportir plasma darah, dari sebelumnya yang adalah importir darah. Plasma darah ini, pihaknya kumpulkan dari PMI dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh Indonesia.

Lebih jauh, Ridha menerangkan, INA memulai perjalanannya sebagai sovereign wealth fund dengan dana sebesar Rp75 triliun atau USD5 miliar. Selama 994 hari INA berdiri, INA telah mengembangkan dana Rp75 triliun itu menjadi hampir Rp145 triliun, atau meningkat 2 kali lipat.

“Dimana kita sudah berinvestasi sekitar Rp65 triliun atau USD4 miliar. 90 persen lebih itu dari asing, dan sisanya dari modal kita. Kita sudah ada komitmen investasi Rp400 triliun lebih. Kita juga sudah di-rate oleh Fitch dimana sama kuatnya dengan Indonesia, yakni triple B,” imbuhnya.

Dana yang ada diinvestasikan pada berbagai sektor di Indonesia, antara lain transportasi dan logistik, digitalisasi dan digital infrastruktur, green energy, healthcare, serta sektor lainnya seperti properti, tourism, layanan finansial, pangan dan agrikultur, tambang (mining, oil, and gas), engineering dan konstruksi, hingga elektronik. SW

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.