Ciputat— Puluhan akademisi dan aktivis Poros Ciputat, Tangerang, menyesalkan pengesahan RUU TNI menjadi UU.
Mereka menilai, TNI kini tak lebih dari polisi karena masuk wilayah sipil. Menurut mereka, UU TNI memberikan ruang bagi tentara masuk ke wilayah ketertiban sipil secara luas.
Ini dapat disalahgunakan politisi dan pengusaha untuk mengamankan kepentingan mereka dengan alasan ketertiban.
“Ciri khas tantara sebagai alat pertahanan negara dalam perang bisa menjadi hilang. TNI semakin menjadi polisi,” ujar Prof. Dr. Saiful Mujani, alumni UIN Jakarta yang ikut menandatangi petisi Poros Alumni UIN Ciputat yang menolak pengesahan RUU TNI.
Aktivis Kontras asal UIN Jakarta, Yati Andriyani, menilai, ekspansi yang lebih luas militer dan kultur militeristik ke ranah ekonomi, politik, hukum, dan budaya, serta sektor publik lainnya akan membawa implikasi yang lebih kompleks terhadap keberlangsungan tatanan negara demokratis.
“Kehidupan sipil dengan kultur militeristik pada dasarnya tidak kompatibel dengan demokrasi dan iklim bisnis,” ujar Yati.
Menurut Yati, kekhawatiran terhadap keadaan militerisme ini bukan sesuatu yang mengada-ada.
Karena, Indonesis pernah mengalaminya selama beberapa dekade dan sudah mengoreksinya secara sadar.
“Buat generasi yang belum pernah mengalaminya, saya ingin mengingatkan kembali hal itu. Bagaimana dulu sejengkal demi sejengkal ruang sipil terkooptasi kekuatan militer. Jangan sampai kita terlambat menyadarinya seperti dulu dan mengulang kembali kesalahan masa lalu,” tuturnya.
Dengan disahkannya RUU TNI menjadi undang undang, Poros Alumni UIN Ciputat menilai keputusan DPR yang tergesa-gesa ini telah menodai semangat reformasi yang telah mengorbankan banyak darah dan air mata bahkan nyawa.
Aktivis senior yang juga seniman, Iwan Buana Fr menegaskan, merasuknya militer ke ranah wilayah di luar bidang pertahanan negara yang menjadi domain utama militer tidak selayaknya terjadi, karena bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip meritokrasi.
“Militer diamanatkan untuk menjaga pertahanan negara, sementara bidang pelayanan publik lainnya akan menjadi wilayah dan tanggung jawab lembaga negara terkait lainnya,” tegas Iwan Buana Fr.
Menurut Iwan, dibutuhkan pemisahan yang jelas terkait pengadilan yang berhak mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer. Dengan menerapkan prinsip kesetaraan kedudukan setiap warga negara di mata hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD, maka harus disidangkan di peradilan umum.
Dalam cuitannya di media sosial, dosen dan juga Alumni UIN Ciputat, Burhanuddin Muhtadi mengingatkan bahwa kepercayaan publik yang diraih TNI selama ini yang tercermin dalam survei-survei, adalah buah dari menjauhnya tentara dari percaturan politik dan posisi sipil.
“TNI sebagai lembaga publik yang memeroleh dukungan kepercayaan tertinggi selama ini dalam survei dipersepsi sebagai lembaga yang independen dan tidak masuk ranah politik,” ungkap guru besar politik UIN Jakarta ini.
Aktivis lain yang sama-sama menandatangani petisi pwnolakan UU TNI antara lain, Ray Rangkuti, Neng Dara Afiah, Yuniyanti Chuzaifah, Anick HT, Zezen Zainal Muttaqin, Andi Syafrani, Khairil Azhar, Nury Sybli, Muhamad Isnur, Ridwan Darmawan, Mila Muzakar, Mixilmina Munir, dan Ikhwan Nasution. (DW)