Bambang Brodjonegoro Beberkan Akal Bulus Pengusaha Tajir ‘Ngakalin’ Pajak dengan Menenteng Status UMKM
Jakarta— Eks Menteri Keuangan sekaligus Ekonom Senior Bambang Brodjonegoro mengungkapkan bahwa banyak di antara pengusaha besar yang mengakali pajak dengan mengaku sebagai pelaku UMKM.
Hal itu ia kemukakan saat menjadi pembicara di Infobank Banking Mastery Forum 2024 bertajuk “How to Navigate Business in Government Transition”, di Shangri-La Jakarta, Kamis, (29/8/2024).
Bambang bercerita, saat menjadi Menteri Keuangan, ia melihat betapa kecilnya basis pajak Indonesia di mana pembayar pajak (tax payers) terlalu sedikit. Salah satu penyebab yang mengemuka ialah ada banyak pengusaha beraset jumbo yang mengakali besaran pajak agar UMKM.
Hal tersebut berimbas pada pendapatan pajak negara yang tidak tertampung optimal, di samping persoalan tax ratio Indonesia kini masih tergolong rendah.
“Sejujurnya banyak orang yang meng-abuse atau menyalahgunakan status UMKM dan informal. Padahal mereka tidak lagi dihitung sebagai UMKM, melainkan selayaknya masuk sektor formal. Tapi dengan segala cara untuk menghindari pajak yang tarifnya kalau pajak badan PPh 21 itu sebesar 22%,” urainya.
Bambang menyebut, pengusaha nakal ini kemudian berlindung di balik batas omzet Rp4,8 miliar per tahun. Sehingga, mereka hanya dibebankan pajak sebesar 0,5 persen dari total omzet tersebut.
Perlu diketahui, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018 yang diperbarui dengan PP No. 55 Tahun 2022, UKM dengan omzet bruto di bawah Rp4,8 miliar setahun dapat menggunakan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari penghasilan bruto.
Libatkan BPR
Oleh sebab itu, ia meminta bantuan kepada perbankan, khususnya Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang kerap berhubungan dengan debitur/pengusaha untuk aktif melaporkan jika terjadi peyalahgunaan status pajak UMKM.
Menurut Bambang, kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Selain berdampak buruk pada keuangan negara, perilaku buruk ini juga tidak adil bagi pekerja di sektor swasta/ negeri.
Wajib pajak yang notabene adalah pegawai berpendapatan tetap (fix income) setiap tahunnya dikenakan pajak sesuai besaran pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
“Unsur keadilan ini harus diperhatikan, apalagi manajemen dari bank. Pegawai bank sebagai professional worker, gajinya kena PPh 21. Bisa-bisa nasabahnya yang ‘berlagak informal’, sebenarnya lebih kaya dari bapak-ibu dan dia bayar pajak jauh lebih kecil. Dan siapa yang tahu informasi seperti itu? Ya BPR karena nggak mungkin ada pengusaha apapun statusnya melakukan tanpa lewat bank,” tegasnya.
Bambang lantas menyinggung soal pendirian badan penerimaan negara yang menurutnya perlu dilakukan. Ia menilai, selama ini tax ratio Indonesia masih sangat rendah, sehingga pemerintah susah membiayai program-program yang dibutuhkan.
“Tax Ratio kita satu dari yang terendah di ASEAN. Kalau hanya tax (penerimaan pajak) saja terhadap GDP Cuma 10 persen. Padahal tarif pajaknya jauh di atas 10 persen. Saya cek di Australia, tax ratio-nya 23 persen. Makanya, pemerintah Australia kelihatannya kaya, sering ngasih bantuan ke Indonesia. Duitnya banyak dari tax payers, sedangkan kita terbatas,” sambungnya. (*) Ranu Arasyki Lubis