Atasi Keluhan Multifinance Hadapi Premanisme,OJK Berkoordinasi dengan APPI dan Penegak Hukum
INDUSTRI multifinance sedang berada di jalan terjal. Menurut Biro Riset Infobank dalam Kajian Rating 130 Multifinance Versi Infobank 2025, ada tiga tantangan berat yang dihadapi industri multifinance sampai akhir 2025.
Satu, pasar pembiayaan yang tertekan oleh melemahnya permintaan sebagai imbas dari anjloknya daya beli masyarakat. Indikatornya adalah penjualan kendaraan roda empat yang pada 2024 anjlok 13,9% menjadi 865.723 unit diperkirakan akan kembali menurun pada 2025.
Pada paroh pertama 2025, penjualan mobil ambruk 8,60% menjadi 374.741 atau ambruk 35.279 dari periode yang sama 2024 yang sebesar 410.020 unit.

Dua, ketatnya likuiditas yang telah terjadi beberapa tahun terakhir karena persaingan merebut dana masyarakat tidak hanya antar produk perbankan tapi juga Surat Berharga Negara (SBN) yang dikeluarkan pemerintah maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI).
Indikatornya, pertumbuhan kredit perbankan pun sudah masuk jalur lambat atau melambat dari 8,1% per Mei 2025, per Juni menjadi hanya 7,6%.
Tiga, risiko penurunan kualitas pembiayaan karena pendapatan masyarakat yang menurun bahkan hilang karena terkena badai pemutusan hubungan kerja (PHK). Indikatornya, jumlah korban PHK dari tahun 2022 sampai Mei 2025 diperkirakan mencapai hampir 200.000 orang.
Sempitnya lapangan kerja terlihat dari meningkatnya angka pengangguran.
Badai PHK membuat pengangguran meningkat, kriminalitas naik, dan banyak orang mencari perlindungan ke organisasi kemasyarakatan (ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Tragisnya, ormas bertindak seperti penegak hukum gelap yang menjadi tempat berlindung bagi debitur yang lari dari tanggung jawab untuk membayar tunggakannya ke perusahaan pembiayaan maupun bank.
Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengakui banyak anggotanya yang mendapatkan perlakukan intimidasi dari ormas, terutama saat mengambil unit kendaraan nasabah atau konsumen yang nunggak cicilan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku telah berkoordinasi dengan APPI untuk membantu permasalahan yang dihadapi industri pembiayaan terkait dengan premanisme ormas.
“Kami tentu membantu asosiasi, termasuk berkoordinasi dengan pihak penegak hukum, tetapi kami kita tidak ingin menggembar-gemborkan ada yang sedang kita tempuh, karena kita tidak ingin pendekatan kami lakukan menimbulkan noise,” ujar Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, menjawab pertanyaan Infobanknews.com (22 Juli 2025).
Agusman menambahkan agar perusahaan pembiayaan tetap konsisten melakukan analisis kredit yang menyeluruh terhadap calon debitur dan saat melakukan penagihan maupun eksekusi mematuhi ketentuan yang berlaku.
“Perusahaan pembiayaan tentu harus selalu mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, norma, dan etika dalam melakukan penagihan serta eksekusi terhadap debitur bermasalah,” imbuhnya.
Di tengah tekanan permintaan pasar dan tantangan kolektabilitas, kualitas pembiayaan industri multfinance masih terjaga.
Menurut data OJK, non performing financing (NPF) multifinance berada pada posisi 2,57% per Mei 2025. Naik jika dibandingkan NPF per Mei 2024 yang sebesar 2,44% namun menurun jika dibandingkan NPF per Desember 2024 yang mencapai 2,70%.
Sedangkan piutang pembiayaan industri multifinance tumbuh terbatas sebesar 2,83% dan secara aset naik 2,65%. Perlambatan pertumbuhan bisnis sektor multifinance ini pun membuat pertumbuhan pembiayaan, sektor pembiayaan modal ventura, pembiayaan infrastruktur, lembaga keuangan mikro, pinjaman daring, pegadaian, SMI, SMF, PNM, dan Tapera (PVML), pun melambat hanya di 4,05% menjadi Rp951,89 triliun.
Sedangkan aset PVML yang diisi 744 pelaku naik 5,74% menjadi Rp1.049,15 triliun. “Sekitar 60% aset sektor PVML itu berasal dari industri pembiayaan yang diisi 145 perusahaan. Sebagian besar pembiayaan multifinance terpusat ke sektor otomotif, jadi penurunan penjualan kendaraan bermotor menyebabkan pertumbuhan industri pembiayaan pun ikut melambat,” ujar Agusman. KM